LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS
I. PENGERTIAN
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart)
II. JENIS FRAKTUR
a.Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b.Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c.Fraktur tertutup : fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d.Fraktur terbuka : fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
e.Greenstick : fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
f.Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang
g.Kominutif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h.Depresi : fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i.Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j.Patologik : fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.
III. ETIOLOGI
a. Trauma
b. Gerakan pintir mendadak
c. Kontraksi otot ekstem
d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma
IV. PATYWAYS
Trauma langsung trauma tidak langsung kondisi patologis
FRAKTUR
Diskontinuitas tulang pergeseran frakmen tulang
Perub jaringan sekitar kerusakan frakmen tulang
Pergeseran frag Tlg laserasi kulit: spasme otot tek. Ssm tlg > tinggi dr kapiler
putus vena/arteri peningk tek kapiler reaksi stres klien
deformitas
perdarahan pelepasan histamin melepaskan katekolamin
gg. fungsi
protein plasma hilang memobilisai asam lemak
kehilangan volume cairan
edema bergab dg trombosit
emboli
penekn pem. drh
menyumbat pemb drh
penurunan perfusi jar
V. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
VII. PENATALAKSANAAN
a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredara darah
VIII. KOMPLIKASI
a. malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
IX. PENGKAJIAN DATA DASAR
a. aktivitas/istirahat
kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
Tachikardi
Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
Cailary refil melambat
Pucat pada bagian yang terkena
Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
Kesemutan
Deformitas, krepitasi, pemendekan
kelemahan
d. kenyamanan
nyeri tiba-tiba saat cidera
spasme/ kram otot
e. keamanan
laserasi kulit
perdarahan
perubahan warna
pembengkakan lokal
X. PRIORITAS KEPERAWATAN
a. Mencegah cedera tulang/ jaringan lanjut
b. Menghilangkan nyeri
c. Mencegah komplikasi
d. Membeikan informasi ttg kondisi dan kebutuhan pengobatan
XI. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jarinagan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
b. Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
c. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
XII. INTERVENSI
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jarinagan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
Mempertahankan posisi fungsinal
Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodik
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
Klien menyatajkan nyei berkurang
Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
Tekanan darahnormal
Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik
C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
Penyembuhan luka sesuai waktu
Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
Intervensi:
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae
b. Monitor suhu tubuh
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol
g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
h. Kolaborasi emberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC
Sabtu, 04 Oktober 2008
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN HEPATITIS
Pengertian
Hepatitis adalah Suatu peradangan pada hati yang terjadi karena invasi bakteri, cidera oleh agen fisik atau kimia ( non - Viral ) atau oleh infeksi virus ( Hepatitis A, B, C, D, E) ( Doenges, Rencana Keperawatan, 2000, 534).
Hepatitis adalah keadaan radang/cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat atau alkohol (Patofisiologi untuk keperawatan, 2000;145)
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus :Hepatitis A, B (HBV), C (HCV), D (HDV). (HEV)
Insiden
1. Hepetitis A
Penyakit endemik dibeberapa bagian dunia, khususnya area dengan sanitasi yang buruk. Walaupun epidemik juga terjadi pada negara – negara dengan sanitasi baik.
2. Hepatitis B
Ditemukan dibeberapa negara insidennya akan meningkat pada area dengan populasi padat dengan tingkat kesehatan yang buruk.
3. Hepatitis C
90 % kasus terjadi akibat post transfusi dan banyak kasus sporadik, 4 % kasus hepatitis disebabkan oleh hepatitis virus dan 50 % terjadi akibat penggunaan obat secara intra vena
4. Hepatitis D
Selalu ditemukan dengan hepatitis B, delta agent adalah endemik pada beberapa area seperti negara mediterania, dimana lebih dari 80 % karier hepatitis B dapat menyebabkan infeksi
5. Hepatitis E
Adalah RNA virus yang berbeda dari hepatitis A dan eterovirus biasanya terjadi di India, Birma, Afganistan, Alberia, dan Meksiko.
Patofisiologi
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degenerasi dan nekrosis sel perenchyn hati.
Respon peradangan menyebabkan pembengkakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.
Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampi dengan timbunya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepatitis dengan sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan infeksi kronik sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker hati.
Manifestasi klinik
Menifestasi klinik dari semua jenis hepatitis virus secara umum sama. Manifestasi klinik dapat dibedakan berdasarkan stadium. Adapun manifestasi dari masing – masing stadium adalah sebagai berikut.
1. Stadium praicterik berlangsung selama 4 – 7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, muntah, demam, nyeri pada otot dan nyeri diperut kanan atas urin menjadi lebih coklat.
2. Stadium icterik berlangsung selama 3 – 6 minggu. Icterus mula –mula terlihat pada sklera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan – keluhan berkurang, tetapi klien masih lemah, anoreksia dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
3. Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyebuhan pada anak – anak menjadi lebih cepat pada orang dewasa, yaitu pada akhir bulan ke 2, karena penyebab yang biasanya berbeda
Tes diagnostik
1. ASR (SGOT) / ALT (SGPT)
Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim – enzim intra seluler yang terutama berada dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan yang rusak, meningkat pada kerusakan sel hati
2. Darah Lengkap (DL)
SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
3. Leukopenia
Trombositopenia mungkin ada (splenomegali)
4. Diferensia Darah Lengkap
Leukositosis, monositosis, limfosit, atipikal dan sel plasma.
5. Alkali phosfatase
Agaknya meningkat (kecuali ada kolestasis berat)
6. Feses
Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati)
7. Albumin Serum
Menurun, hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis oleh hati dan karena itu kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati.
8. Gula Darah
Hiperglikemia transien / hipeglikemia (gangguan fungsi hati).
9. Anti HAVIgM
Positif pada tipe A
10. HbsAG
Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A)
11. Masa Protrombin
Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat kerusakan sel hati atau berkurang. Meningkat absorbsi vitamin K yang penting untuk sintesis protombin.
12. Bilirubin serum
Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk, mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler)
13. Tes Eksresi BSP (Bromsulfoptalein)
Kadar darah meningkat.
BPS dibersihkan dari darah, disimpan dan dikonyugasi dan diekskresi. Adanya gangguan dalam satu proses ini menyebabkan kenaikan retensi BSP.
14. Biopsi Hati
Menujukkan diagnosis dan luas nekrosis
15. Scan Hati
Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkin hati.
16. Urinalisa
Peningkatan kadar bilirubin.
Gangguan eksresi bilirubin mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, ia disekresi dalam urin menimbulkan bilirubinuria.
Penatalaksanaan Medik
Tidak ada terapi sfesifik untuk hepatitis virus. Tirah baring selama fase akut dengan diet yang cukup bergizi merupakan anjuran yang lazim. Pemberian makanan intravena mungkin perlu selama fase akut bila pasien terus menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala-gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
RENCANA KEPERAWATAN
HEPATITIS
No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan
1 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum; penurunan kekuatan/ ketahanan.
Ditandai:
DS:
• Pasien mengatakan badannya terasa lemah.
DO:
• Tampak malas bergerak
• Kekuatan otot menurun Pasien akan menujukan peningkatan aktivitas secara bertahap.
Kriteria:
• Mengekspresikan pemahaman tentang pentingnya perubahan tingkat aktifitas.
• Meningkatkan aktifitas yang dilakukan sesuai dengan perkembangan kekuatan otot dalam batas toleransi.
1. Tingkatkan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang.
2. Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit yang baik.
3. Tingkat aktifitas sesuai toleransi
4. Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan, pembesaran hepar.
Kolaborasi:
• Berikan antidot atau bantu prosedur sesuai indikasi.
• Berikan obat sesuai indikasi ( mis; sedatif, antiansietas)
• Awasi kadar enzim hepar.
2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan masukan untuk kebutuhan metabolik: anoreksia, mual/ muntah.
Ditandai:
DS:
• Pasien mengatakan malas makan.
• Merasa kram pada perut.
• Pasien mengatakan merasa tidak sedap dimulut/ lidah.
DO:
• BB menurun
• Porsi makan tidak dihabiskan
Pasien akan menunjukkan status nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil :
• Nafsu makan baik.
• Tidak ada keluhan mual/muntah.
• Mencapai BB , mengarah kepada BB normal 1. Awasi keluhan anoreksia, mual/muntah.
2. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori. Berikan makanan sedikit dalam frekwensi sering.
3. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
4. Lakukan perawatan mulut sebelum makan.
5. Timbang berat badan.
Kolaborasi:
• Konsultasi dengan ahli diet
• Awasi glukosa darah
• Berikan obat sesuai indikasi
• Berikan tambahan makanan/ nutrisi dukungan total bila dibutuhkan.
3 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor resiko: kehilangan berlebihan melalui muntah dan diare.
Pasien akan menunjukkan status cairan adekuat.
Kriteria hasil :
• Tanda – tanda vital stabil :
TD : 90/50 – 120/70 mmhg,
N : 85 – 100 x/mnt, S : 36,5 – 37,50 C
P : 15 – 25 x/mnt
Turgor kulit normal ( cepat kembali )
• Intake dan output seimbang 1. Monitor intake dan output
2. Kaji tanda vital, nadi perifer, pengisian kapiler , turgor kulit dan membran mukosa .
3. Periksa ascites atau pembentukan edema. Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi.
4. Observasi tanda perdarahan, mis: hematuria/ melena, ekimosis, perdarahan gusi/ bekas injeksi.
Kolaborasi:
• Pantau nilai laboratorium, mis; Hb/ Ht,Na+ albumin dan waktu pembekuan.
• Berikan cairan IV (biasanya glukosa), elektrolit: Protein hidrolisat.
4 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat Klien akan menunjukkan tehnik melakukan perubahan pola hidup untuk menghindari infeksi ulang dan transmisi ke orang lain.
Kriteria hasil :
• Memperlihatkan pengertian tentang tindakan kewaspadaan dengan mengikuti petunjuk.
• Mempertahankan suhu tubuh yang normal , pernapasan normal, tidak ada tanda terjadinya infeksi. 1. Lakukan tehnik isolasi untuk infeksi enterik dan pernapasan sesuai kebijakan rumah sakit termasuk cuci tangan efektif.
2. Awasi / batasi pengunjung sesuai indikasi.
3. Jelaskan prosedur isolasi pada klien/orang terdekat.
Kolaborasi:
• Berikan antibiotik untuk agen pencegahan ( Mis: gram negatif, bakteri anaerob) atau proses sekunder.
5 Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan .
Klien menunjukkan jaringan kulit yang utuh
Kriteria hasil :
• Melaporkan penurunan proritus atau menggaruk.
• Ikut serta dalam aktifitas untuk mempertahankan integritas kulit 1. Lakukan perawatan kulit dengan sering, hindari sabun alkali.
2. Pertahankan kuku klien terpotong pendek. Instruksikan klien menggunakan ujung jari atau menggunakan ujung jari untuk menekan pada kulit bila sangat perlu menggaruk.
3. Pertahankan linen dan pakaian kering.
6 Kurang pengetahuan berhubungan kurangnya informasi tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan, ditandai:
DS:
• Pasien/ keluarga bertanya tentang bagaimana perawatan penyakitnya.
DO:
Tujuan : Klien dan keluarga mengetahui tentang proses penyakitnya.
Kriteria hasil :
• Mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit.
• Melakukan perubahan perilaku dan berpartisipasi pada pengobatan
1. Kaji tingkat pemahaman proses penyakit, harapan /prognosis, kemungkinan pilihan pengobatan.
2. Berikan informasi khusus tentang pencegahan/ penularan penyakitnya.
3. Jelaskan pentingnya istirahat dan latihan dalam batas toleransi.
4. Bantu pasien mengidentifikasi aktivitas pengalih.
5. Dorong kesinambungan diet seimbang.
6. Identifikasi cara untuk mempertahankan fungsi usus biasanya, mis; masukan cairan yang adekuat/ diet serat, aktifitas sesuai toleransi.
7. Diskusikan efek samping dan bahaya minum obat yang dijual bebas/ tanpa resep.
8. Diskusikan pentingnya menghindari alkohol.
Hepatitis adalah Suatu peradangan pada hati yang terjadi karena invasi bakteri, cidera oleh agen fisik atau kimia ( non - Viral ) atau oleh infeksi virus ( Hepatitis A, B, C, D, E) ( Doenges, Rencana Keperawatan, 2000, 534).
Hepatitis adalah keadaan radang/cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat atau alkohol (Patofisiologi untuk keperawatan, 2000;145)
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus :Hepatitis A, B (HBV), C (HCV), D (HDV). (HEV)
Insiden
1. Hepetitis A
Penyakit endemik dibeberapa bagian dunia, khususnya area dengan sanitasi yang buruk. Walaupun epidemik juga terjadi pada negara – negara dengan sanitasi baik.
2. Hepatitis B
Ditemukan dibeberapa negara insidennya akan meningkat pada area dengan populasi padat dengan tingkat kesehatan yang buruk.
3. Hepatitis C
90 % kasus terjadi akibat post transfusi dan banyak kasus sporadik, 4 % kasus hepatitis disebabkan oleh hepatitis virus dan 50 % terjadi akibat penggunaan obat secara intra vena
4. Hepatitis D
Selalu ditemukan dengan hepatitis B, delta agent adalah endemik pada beberapa area seperti negara mediterania, dimana lebih dari 80 % karier hepatitis B dapat menyebabkan infeksi
5. Hepatitis E
Adalah RNA virus yang berbeda dari hepatitis A dan eterovirus biasanya terjadi di India, Birma, Afganistan, Alberia, dan Meksiko.
Patofisiologi
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degenerasi dan nekrosis sel perenchyn hati.
Respon peradangan menyebabkan pembengkakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.
Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampi dengan timbunya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepatitis dengan sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan infeksi kronik sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker hati.
Manifestasi klinik
Menifestasi klinik dari semua jenis hepatitis virus secara umum sama. Manifestasi klinik dapat dibedakan berdasarkan stadium. Adapun manifestasi dari masing – masing stadium adalah sebagai berikut.
1. Stadium praicterik berlangsung selama 4 – 7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, muntah, demam, nyeri pada otot dan nyeri diperut kanan atas urin menjadi lebih coklat.
2. Stadium icterik berlangsung selama 3 – 6 minggu. Icterus mula –mula terlihat pada sklera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan – keluhan berkurang, tetapi klien masih lemah, anoreksia dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
3. Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyebuhan pada anak – anak menjadi lebih cepat pada orang dewasa, yaitu pada akhir bulan ke 2, karena penyebab yang biasanya berbeda
Tes diagnostik
1. ASR (SGOT) / ALT (SGPT)
Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim – enzim intra seluler yang terutama berada dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan yang rusak, meningkat pada kerusakan sel hati
2. Darah Lengkap (DL)
SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
3. Leukopenia
Trombositopenia mungkin ada (splenomegali)
4. Diferensia Darah Lengkap
Leukositosis, monositosis, limfosit, atipikal dan sel plasma.
5. Alkali phosfatase
Agaknya meningkat (kecuali ada kolestasis berat)
6. Feses
Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati)
7. Albumin Serum
Menurun, hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis oleh hati dan karena itu kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati.
8. Gula Darah
Hiperglikemia transien / hipeglikemia (gangguan fungsi hati).
9. Anti HAVIgM
Positif pada tipe A
10. HbsAG
Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A)
11. Masa Protrombin
Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat kerusakan sel hati atau berkurang. Meningkat absorbsi vitamin K yang penting untuk sintesis protombin.
12. Bilirubin serum
Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk, mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler)
13. Tes Eksresi BSP (Bromsulfoptalein)
Kadar darah meningkat.
BPS dibersihkan dari darah, disimpan dan dikonyugasi dan diekskresi. Adanya gangguan dalam satu proses ini menyebabkan kenaikan retensi BSP.
14. Biopsi Hati
Menujukkan diagnosis dan luas nekrosis
15. Scan Hati
Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkin hati.
16. Urinalisa
Peningkatan kadar bilirubin.
Gangguan eksresi bilirubin mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, ia disekresi dalam urin menimbulkan bilirubinuria.
Penatalaksanaan Medik
Tidak ada terapi sfesifik untuk hepatitis virus. Tirah baring selama fase akut dengan diet yang cukup bergizi merupakan anjuran yang lazim. Pemberian makanan intravena mungkin perlu selama fase akut bila pasien terus menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala-gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
RENCANA KEPERAWATAN
HEPATITIS
No Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan
1 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum; penurunan kekuatan/ ketahanan.
Ditandai:
DS:
• Pasien mengatakan badannya terasa lemah.
DO:
• Tampak malas bergerak
• Kekuatan otot menurun Pasien akan menujukan peningkatan aktivitas secara bertahap.
Kriteria:
• Mengekspresikan pemahaman tentang pentingnya perubahan tingkat aktifitas.
• Meningkatkan aktifitas yang dilakukan sesuai dengan perkembangan kekuatan otot dalam batas toleransi.
1. Tingkatkan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang.
2. Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit yang baik.
3. Tingkat aktifitas sesuai toleransi
4. Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan, pembesaran hepar.
Kolaborasi:
• Berikan antidot atau bantu prosedur sesuai indikasi.
• Berikan obat sesuai indikasi ( mis; sedatif, antiansietas)
• Awasi kadar enzim hepar.
2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan masukan untuk kebutuhan metabolik: anoreksia, mual/ muntah.
Ditandai:
DS:
• Pasien mengatakan malas makan.
• Merasa kram pada perut.
• Pasien mengatakan merasa tidak sedap dimulut/ lidah.
DO:
• BB menurun
• Porsi makan tidak dihabiskan
Pasien akan menunjukkan status nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil :
• Nafsu makan baik.
• Tidak ada keluhan mual/muntah.
• Mencapai BB , mengarah kepada BB normal 1. Awasi keluhan anoreksia, mual/muntah.
2. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori. Berikan makanan sedikit dalam frekwensi sering.
3. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
4. Lakukan perawatan mulut sebelum makan.
5. Timbang berat badan.
Kolaborasi:
• Konsultasi dengan ahli diet
• Awasi glukosa darah
• Berikan obat sesuai indikasi
• Berikan tambahan makanan/ nutrisi dukungan total bila dibutuhkan.
3 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor resiko: kehilangan berlebihan melalui muntah dan diare.
Pasien akan menunjukkan status cairan adekuat.
Kriteria hasil :
• Tanda – tanda vital stabil :
TD : 90/50 – 120/70 mmhg,
N : 85 – 100 x/mnt, S : 36,5 – 37,50 C
P : 15 – 25 x/mnt
Turgor kulit normal ( cepat kembali )
• Intake dan output seimbang 1. Monitor intake dan output
2. Kaji tanda vital, nadi perifer, pengisian kapiler , turgor kulit dan membran mukosa .
3. Periksa ascites atau pembentukan edema. Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi.
4. Observasi tanda perdarahan, mis: hematuria/ melena, ekimosis, perdarahan gusi/ bekas injeksi.
Kolaborasi:
• Pantau nilai laboratorium, mis; Hb/ Ht,Na+ albumin dan waktu pembekuan.
• Berikan cairan IV (biasanya glukosa), elektrolit: Protein hidrolisat.
4 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat Klien akan menunjukkan tehnik melakukan perubahan pola hidup untuk menghindari infeksi ulang dan transmisi ke orang lain.
Kriteria hasil :
• Memperlihatkan pengertian tentang tindakan kewaspadaan dengan mengikuti petunjuk.
• Mempertahankan suhu tubuh yang normal , pernapasan normal, tidak ada tanda terjadinya infeksi. 1. Lakukan tehnik isolasi untuk infeksi enterik dan pernapasan sesuai kebijakan rumah sakit termasuk cuci tangan efektif.
2. Awasi / batasi pengunjung sesuai indikasi.
3. Jelaskan prosedur isolasi pada klien/orang terdekat.
Kolaborasi:
• Berikan antibiotik untuk agen pencegahan ( Mis: gram negatif, bakteri anaerob) atau proses sekunder.
5 Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan .
Klien menunjukkan jaringan kulit yang utuh
Kriteria hasil :
• Melaporkan penurunan proritus atau menggaruk.
• Ikut serta dalam aktifitas untuk mempertahankan integritas kulit 1. Lakukan perawatan kulit dengan sering, hindari sabun alkali.
2. Pertahankan kuku klien terpotong pendek. Instruksikan klien menggunakan ujung jari atau menggunakan ujung jari untuk menekan pada kulit bila sangat perlu menggaruk.
3. Pertahankan linen dan pakaian kering.
6 Kurang pengetahuan berhubungan kurangnya informasi tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan, ditandai:
DS:
• Pasien/ keluarga bertanya tentang bagaimana perawatan penyakitnya.
DO:
Tujuan : Klien dan keluarga mengetahui tentang proses penyakitnya.
Kriteria hasil :
• Mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit.
• Melakukan perubahan perilaku dan berpartisipasi pada pengobatan
1. Kaji tingkat pemahaman proses penyakit, harapan /prognosis, kemungkinan pilihan pengobatan.
2. Berikan informasi khusus tentang pencegahan/ penularan penyakitnya.
3. Jelaskan pentingnya istirahat dan latihan dalam batas toleransi.
4. Bantu pasien mengidentifikasi aktivitas pengalih.
5. Dorong kesinambungan diet seimbang.
6. Identifikasi cara untuk mempertahankan fungsi usus biasanya, mis; masukan cairan yang adekuat/ diet serat, aktifitas sesuai toleransi.
7. Diskusikan efek samping dan bahaya minum obat yang dijual bebas/ tanpa resep.
8. Diskusikan pentingnya menghindari alkohol.
ASUHAN KEPERAWATAN CA RECTI
PENGERTIAN
Kanker rekti adalah pertumbuhan sel abnormal atau keganasan atau maligna pada daerah rectum.
Kanker kolorektal adalah suatu tumor kedua yang mematikan setelah kanker paru, lebih banyak pada pria dari pada wanita (Lucman’s 1993).
PENYEBAB
Diet
a. Faktor diet akan mempengaruhi pembukaan saluran cerna untuk terjadinya karsigonesis.
Lemak meningkat terdapatnya agen promotor, serat dan kalsium yang mereduksi pembukaannya.
b. Diet tinggi lemak tidak tersaturasi dapat menimbulkan karsinogenis dengan peningkatan level asam fecalbile yang berimplikasi pada timbulnya kanker.
c. Makanan yang berserat akan membatasi gerak kanker dengan mempercepat waktu transit intestinal.
Berisiko
a. iritasi pada rongga anal dapat memberikan kontribusi pada perkembangan kanker dalam segmen usus besar ini.
b. Riwayat keluarga dimana anggota keluarga yang mempunyai insiden kanker Colon, payudara dan tumor uterus.
c. Poliposis familial, colitis ulseratif kronis dan enyakin crohn di hubungkan dengan terjadinya tumor pada usia lebih dini dari pada orang-orang pada umumnya.
d. Predisposisi genetik untuk penyakit ini telah dikenal dan dipublikasikan dalam laporan terbaru.
e. Radiasi mempengaruhi proebocolitis.
TANDA DAN GEJALA
1. Konstipasi, terjadi peningkatan konstipasi yang tidak biasa dan terdapat juga diare.
2. Perdarahan, darah yang keluar berwarna merah segar dari rectum.
3. Nyeri, terjadi karena infiltrasi dari fleksus sakral oleh kanker.
4. Tenesmus, merasakan penuh dan sensasi ingin BAB, namun tidak teratasi dengan BAB.
5. Mucus dan PUS, sering terlihat pada pertumbuhan Ca. Rectum
6. Obstruksi Intestinal, dapat berkembang jika karena pencernaan menyempit karena pertumbuhan Ca.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sampel feces untuk darah sanaar, mengindikasikan adanya darah dalam fraktus digestivus.
2. Kolonoskopi atau proktosigmoidoskopi, enema Barium dapat mengindikasikan lesi-lesi interior Colon.
3. CT. Scan dapat menilai tahap-tahap dari penyakit ini.
PENGOBATAN
1. Pembedahan intervensi pembedahan meliputi pengangkatan seluruh rongga awal, dan jika terjadi metasfase lokal, struktur jaringan sekitarnya mungkin dapat diangkat. Kolostomi dan diversifikasi urinarius mungkin menjadi penting tergantung luasnya penyakit.
2. Kempoterapi. Telah digunakan sebagai pengobatan paliatif untuk mengontrol gejala dari penyakit metastatik.
3. Terapi Radiasi. Digunakan untuk memperkecil tumor yang tidak dapat di operasi. Modalitas terapi ini juga dapat digunakan secara asupan dengan atau tanpa khemotherapi.
Kanker rekti adalah pertumbuhan sel abnormal atau keganasan atau maligna pada daerah rectum.
Kanker kolorektal adalah suatu tumor kedua yang mematikan setelah kanker paru, lebih banyak pada pria dari pada wanita (Lucman’s 1993).
PENYEBAB
Diet
a. Faktor diet akan mempengaruhi pembukaan saluran cerna untuk terjadinya karsigonesis.
Lemak meningkat terdapatnya agen promotor, serat dan kalsium yang mereduksi pembukaannya.
b. Diet tinggi lemak tidak tersaturasi dapat menimbulkan karsinogenis dengan peningkatan level asam fecalbile yang berimplikasi pada timbulnya kanker.
c. Makanan yang berserat akan membatasi gerak kanker dengan mempercepat waktu transit intestinal.
Berisiko
a. iritasi pada rongga anal dapat memberikan kontribusi pada perkembangan kanker dalam segmen usus besar ini.
b. Riwayat keluarga dimana anggota keluarga yang mempunyai insiden kanker Colon, payudara dan tumor uterus.
c. Poliposis familial, colitis ulseratif kronis dan enyakin crohn di hubungkan dengan terjadinya tumor pada usia lebih dini dari pada orang-orang pada umumnya.
d. Predisposisi genetik untuk penyakit ini telah dikenal dan dipublikasikan dalam laporan terbaru.
e. Radiasi mempengaruhi proebocolitis.
TANDA DAN GEJALA
1. Konstipasi, terjadi peningkatan konstipasi yang tidak biasa dan terdapat juga diare.
2. Perdarahan, darah yang keluar berwarna merah segar dari rectum.
3. Nyeri, terjadi karena infiltrasi dari fleksus sakral oleh kanker.
4. Tenesmus, merasakan penuh dan sensasi ingin BAB, namun tidak teratasi dengan BAB.
5. Mucus dan PUS, sering terlihat pada pertumbuhan Ca. Rectum
6. Obstruksi Intestinal, dapat berkembang jika karena pencernaan menyempit karena pertumbuhan Ca.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sampel feces untuk darah sanaar, mengindikasikan adanya darah dalam fraktus digestivus.
2. Kolonoskopi atau proktosigmoidoskopi, enema Barium dapat mengindikasikan lesi-lesi interior Colon.
3. CT. Scan dapat menilai tahap-tahap dari penyakit ini.
PENGOBATAN
1. Pembedahan intervensi pembedahan meliputi pengangkatan seluruh rongga awal, dan jika terjadi metasfase lokal, struktur jaringan sekitarnya mungkin dapat diangkat. Kolostomi dan diversifikasi urinarius mungkin menjadi penting tergantung luasnya penyakit.
2. Kempoterapi. Telah digunakan sebagai pengobatan paliatif untuk mengontrol gejala dari penyakit metastatik.
3. Terapi Radiasi. Digunakan untuk memperkecil tumor yang tidak dapat di operasi. Modalitas terapi ini juga dapat digunakan secara asupan dengan atau tanpa khemotherapi.
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN FRAKTUR FEMUR
I. DEFENISI
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.
II. FISIOLOGI / ANATOMI
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
III. KLASIFIKASI
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul
dan Melalui kepala femur (capital fraktur)
· Hanya di bawah kepala femur
· Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
· Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
· Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokhanter kecil.
IV. PATOFISIOLOGI
A. Penyebab fraktur adalah trauma
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa
yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :
· Osteoporosis Imperfekta
· Osteoporosis
· Penyakit metabolik
TRAUMA
Dibagi menjadi dua, yaitu :
Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.
TANDA DAN GEJALA
· Nyeri hebat di tempat fraktur
· Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
· Rotasi luar dari kaki lebih pendek
· Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
PENATALAKSANAAN MEDIK
· X.Ray
· Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
· Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
· CCT kalau banyak kerusakan otot.
TRAKSI
Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.
Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban <>
Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.
Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.
KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI
Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
· Mengurangi nyeri akibat spasme otot
· Memperbaiki dan mencegah deformitas
· Immobilisasi
· Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
· Mengencangkan pada perlekatannya.
MACAM - MACAM TRAKSI
Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.
Traksi Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.
Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.
Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.
PENGKAJIAN
1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat Perjalanan penyakit
· Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan
· Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma
· Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
· Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
· Kehilangan fungsi
· Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
· Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam jangka waktu lama
· Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada wanita
· Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
· Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Proses pertolongan pertama yang dilakukan
· Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan diatas/di bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan
· Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema
2. Pemeriksaan fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena
- Deformitas yang nampak jelas
- Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
- Laserasi
- Perubahan warna kulit
- Kehilangan fungsi daerah yang cidera
c. Palpasi
· Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
· Krepitasi
· Nadi, dingin
· Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemasPotensial infeksi se- hubungan dengan luka terbuka.
Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in- formasi.
RENCANA KEPERAWATAN
DX 1
Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
INTERVENSI
INDENPENDEN:
a)Observasi tanda-tanda vital.
b)Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak- nya per darahan
c)Memberikan posisi supinasi
d)Memberikan banyak cairan (minum)
KOLABORASI:
a)Pemberian cairan per infus
b)Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan peng- hentian perdarahan dgn fiksasi.
c)Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)
RASIONAL
a)Untuk mengetahui tanda-tanda syok se- dini mungkin
b)Untuk menentukan tindak an
c)Untuk mengurangi per darahan dan men- cegah kekurangan darah ke otak.
d)Untuk mencegah ke- kurangan cairan
(mengganti cairan yang hilang)
e)Pemberian cairan per-infus.
f)Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perda-rahan.
g)Untuk mengetahui ka-dar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.
DX2
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas
INTERVENSI
INDEPENDEN:
a) Mengkaji karakteris- tik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng- gunakan skala nyeri (0-10)
b) Mempertahankan im- mobilisasi (back slab)
c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas
KOLABORASI:
e) Pemberian obat-obatan analgesik
RASIONAL
a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat me- nentukan jenis tindak annya.
b) Mencegah pergeser- an tulang dan pe- nekanan pada jaring- an yang luka.
c) Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me- ngurangi nyeri.
d) Untuk mempersiap- kan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.
e) Mengurangi rasa nyeri
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.
II. FISIOLOGI / ANATOMI
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
III. KLASIFIKASI
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul
dan Melalui kepala femur (capital fraktur)
· Hanya di bawah kepala femur
· Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
· Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
· Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokhanter kecil.
IV. PATOFISIOLOGI
A. Penyebab fraktur adalah trauma
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa
yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :
· Osteoporosis Imperfekta
· Osteoporosis
· Penyakit metabolik
TRAUMA
Dibagi menjadi dua, yaitu :
Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.
TANDA DAN GEJALA
· Nyeri hebat di tempat fraktur
· Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
· Rotasi luar dari kaki lebih pendek
· Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
PENATALAKSANAAN MEDIK
· X.Ray
· Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
· Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
· CCT kalau banyak kerusakan otot.
TRAKSI
Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual
Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.
Traksi Mekanik
Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas
untuk 4 minggu dan beban <>
Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.
Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.
KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI
Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :
· Mengurangi nyeri akibat spasme otot
· Memperbaiki dan mencegah deformitas
· Immobilisasi
· Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
· Mengencangkan pada perlekatannya.
MACAM - MACAM TRAKSI
Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.
Traksi Ekstension (Buck’s Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.
Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.
Traksi Russell’s
Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.
PENGKAJIAN
1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat Perjalanan penyakit
· Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan
· Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma
· Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
· Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
· Kehilangan fungsi
· Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
· Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam jangka waktu lama
· Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada wanita
· Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
· Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Proses pertolongan pertama yang dilakukan
· Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan diatas/di bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan
· Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema
2. Pemeriksaan fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena
- Deformitas yang nampak jelas
- Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
- Laserasi
- Perubahan warna kulit
- Kehilangan fungsi daerah yang cidera
c. Palpasi
· Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
· Krepitasi
· Nadi, dingin
· Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemasPotensial infeksi se- hubungan dengan luka terbuka.
Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in- formasi.
RENCANA KEPERAWATAN
DX 1
Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak
INTERVENSI
INDENPENDEN:
a)Observasi tanda-tanda vital.
b)Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak- nya per darahan
c)Memberikan posisi supinasi
d)Memberikan banyak cairan (minum)
KOLABORASI:
a)Pemberian cairan per infus
b)Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan peng- hentian perdarahan dgn fiksasi.
c)Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)
RASIONAL
a)Untuk mengetahui tanda-tanda syok se- dini mungkin
b)Untuk menentukan tindak an
c)Untuk mengurangi per darahan dan men- cegah kekurangan darah ke otak.
d)Untuk mencegah ke- kurangan cairan
(mengganti cairan yang hilang)
e)Pemberian cairan per-infus.
f)Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perda-rahan.
g)Untuk mengetahui ka-dar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.
DX2
Gangguan rasa nyaman:
Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas
INTERVENSI
INDEPENDEN:
a) Mengkaji karakteris- tik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng- gunakan skala nyeri (0-10)
b) Mempertahankan im- mobilisasi (back slab)
c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas
KOLABORASI:
e) Pemberian obat-obatan analgesik
RASIONAL
a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat me- nentukan jenis tindak annya.
b) Mencegah pergeser- an tulang dan pe- nekanan pada jaring- an yang luka.
c) Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me- ngurangi nyeri.
d) Untuk mempersiap- kan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.
e) Mengurangi rasa nyeri
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MULTIPLE FRAKTUR
Pengertian.
Adalah terputuisnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berubah trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berubah trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Akibat trauma pada tulang tergantuing pada jenis trauma,kekuatan, dan arahnya.Taruma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ketulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
Klasifikasi patah tulang.
Patah tulang dapat dibagi menurut ada tidanya hubungan antara patahan tulang denga dunia luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk kedalam luka sampai ke tulang yang patah.
Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang.
Patang tulang juga dapat dibagi menurut garis fraktrunya misanya fisura, patah tulang sederhana, patah tulang kominutif ( pengecilan, patah tulang segmental,patah tulang impaksi ), patah tulang kompresi, impresi dan patah tulang patologis.
Derajat patah tulang terbuka terbagi atas 3 macam yaitu :
1. laserasi <>
2. Laserasi > 2 cm kontusi otot diserkitarnya bentuknya dislokasi, fragmen jelas
3. Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya bentuknya kominutif, segmental,fragmen tulang ada yang hilang
Jenis patah tulang dapat digolongkan menjadi :
1. Visura ( Diafisis metatarsal
2. Serong sederhana ( Diaphisis metacarpal )
3. Lintang sederhana ( diafisis tibia )
4. Kominutif ( Diafisis femur )
5. Segmental ( Diafisis tibia )
6. Dahan hijau ( diafisis radius pada anak )
7. Kompresi ( Korpus vertebral th. XII )
8. Impaksi ( epifisis radius distal,kolum femur lateral )
9. Impresi ( tulang tengkorak )
10. Patologis ( Tomur diafisi humerus,kurpus vertebral)
Komplikasi patah tulang .
Komplikasi patah tulang meliputi :
1. Komplikasi segera
Lokal :
· Kulit( abrasi l;acerasi, penetrasi)
· Pembuluh darah ( robek )
· Sistem saraf ( Sumssum tulang belakang, saraf tepi motorik dan sensorik)
· Otot
· Organ dalam ( jantung,paru,hepar, limpha(pada Fr.kosta),kandung kemih (Fr.Pelvics)
Umum :
· Ruda paksa multiple
· Syok ( hemoragik, neurogenik )
2. Komplikas Dini :
Lokal :
· Nekrosis kulit, gangren, sindroma kopartemen,trombosis vena, infeksi sendi,osteomelisis )
Umum :
· ARDS,emboli paru, tetanus.
3. Kompliasi lama
Lokal :
· Sendi (ankilosis fibrosa, ankilosis osal )
· Tulang ( gagal taut/lama dan salah taut,distropi reflek,osteoporosisi paskah trauma,ggn pertumbuhan,osteomelisis,patah tulang ulang)
· Otot atau tendon ( penulangan otot, ruptur tendon )
· Saraf ( kelumpuhan saraf lambat
Umum :
· Batu ginjal ( akibat mobilisasi lama ditempat tidur)
VI. Penatalaksanaan patah tulang.
Penatalaksanaan patah tulang mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya yang meliputi :
a. Jangan ciderai pasien( Primum Non Nocere).
b. Pengobatan yang tepat berdasarkanb diagnosis dan prognosisnya
c. Sesuai denga hokum alam
d. Sesuai dengan kepribadian individu
Khusus untuk patah tulang meliputi :
4. Reposisi
5. Imobilisasi
6. Mobilisasi berupa latihan seluruh system tubuh.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Riwayat perjalanan penyakit.
2. Riwayat pengobatan sebelumnya.
3. Pertolongan pertama yang dilakukan
4. Pemeriksaan fisik :
§ Identifikasi fraktur
§ Inspeksi
§ Palpasi (bengkak, krepitasi, nadi, dingin)
§ Observasi spasme otot.
5. Pemeriksaan diagnostik :
§ Laboratorium (HCt, Hb, Leukosit, LED)
§ RÖ
§ CT-Scan
6. Obat-obatan : golongan antibiotika gram (+) dan gram (-)
§ Penyakit yang dapat memperberat dan mempermudah terjadinya fraktur :
a. Osteomyelitis acut
b. Osteomyelitis kronik
c. Osteomalacia
d. Osteoporosis
e. Gout
f. Rhematoid arthritis
PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
DATA SUBYEKTIF
§ Data biografi
§ Adanya nyeri, kekakuan, kram, sakit pinggang, kemerahan, pembengkakan, deformitas, ROM, gangguan sensasi.
§ Cara PQRST :
o Provikatif (penyebab)
o Quality (bagaimana rasanya, kelihatannya)
o Region/radiation (dimana dan apakah menyebar)
o Severity (apakah mengganggu aktivitas sehari-hari)
o Timing (kapan mulainya)
§ Pengkajian pada sistem lain
o Riwayat sistem muskuloskeletal, tanyakan juga tentang riwayat kesehatan masa lalu.
o Riwayat dirawat di RS
o Riwayat keluarga, diet.
o Aktivitas sehari-hari, jenis pekerjaan, jenis alas kaki yang digunakan
o Permasalahan dapat saja baru diketahui setelah klien ganti baju, membuka kran dll.
DATA OBYEKTIF
§ Inspeksi dan palpasi ROM dan kekuatan otot
§ Bandingakan dengan sisi lainnya.
§ Pengukuran kekuatan otot (0-5)
§ Duduk, berdiri dan berjalan kecuali ada kontra indikasi.
§ Kyposis, scoliosis, lordosis.
PROSEDUR DIAGNOSTIK
X-ray dan radiography
Arthrogram (mendiagnosa trauma pada kapsul di persendian atau ligamen). Anestesi lokal sebelum dimasukkan cairan kontras/udara ke daerah yang akan diperiksa.
Lamnograph (untuk mengetahui lokasi yang mengalami destruksi atau mengevaluasi bone graf).
Scanograph (mengetahui panjang dari tulang panjang, sering dilakukan pada anak-anak sebelum operasi epifisis).
Bone scanning (cairan radioisotop dimasukkan melalui vena, sering dilakukan pada tumor ganas, osteomyelitis dan fraktur).
MRI
Arthroscopy (tindakan peneropongan di daerah sendi)
Arthrocentesis (metode pengambilan cairan sinovial)
MASALAH-MASALAH YANG UMUM TERJADI
Gangguan dalam melakukan ambulasi.
· Berdampak luas pada aspek psikososial klien.
· Klien membutuhkan imobilisasi → menyebabkan spasme otot dan kekakuan sendi
· Perlu dilakukan ROM untuk menguragi komplikasi :
- Kaki (fleksi, inverse, eversi, rotasi)
- Pinggul (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi)
- Lutut (ekstensi)
- Jari-jari kaki (ektensi, fleksi)
Nyeri; tindakan keperawatan :
· Merubah posisi pasien
· Kompres hangat, dingin
· Pemijatan
· Menguragi penekanan dan support social
· Apabila nyeri di sendi, perlu dikaji :
- Kejadian sebelum terjadinya nyeri
- Derajat nyeri pada saat nyeri pertama timbul
- Penyebaran nyeri
- Lamanya nyeri
- Intensitas nyeri, apakah menyertai pergerakan
- Sumber nyeri
- Hal-hal yang dapat mengurangi nyeri.
Spasme otot
· Spasme otot (kram/kontraksi otot involunter)
· Spasme otot dapat disebabkan iskemi jaringan dan hipoksia.
· Tindakan keperawatan :
a. Rubah posisi
b. Letakkan guling kecil di bawah pergelangan kaki dan lutut
c. Berikan ruangan yang cukup hangat
d. Hindari pemberian obat sedasi berat → dapat menurunkan aktivitas pergerakan selama tidur
e. Beri latihan aktif dan pasif sesuai program
INTERVENSI
1. Istirahat
· Istirahat adalah intervensi utama
· Membantu proses penyembuhan dan meminimalkan inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
· Pemasangan bidai/gips.
1. Kompres hangat
· Rendam air hangat/kantung karet hangat
· Diikuti dengan latihan pergerakan/pemijatan
· Dampak fisiologis dari kompres hangat adalah :
o Perlunakan jaringan fibrosa
o Membuat relaks otot dan tubuh
o Menurunkan atau menghilangkan nyeri
o Meningkatkan suplai darah/melancarkan aliran darah.
2. Kompres dingin
· Metoda tidak langsung seperti cold pack
· Dampak fisiologis adalah vasokonstriksi dan penerunan metabolic
· Membantu mengontrol perdarahan dan pembengkakan karena trauma
· Nyeri dapat berkurang, dapat menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot
· Harus hati-hati, dapat menyebabkan jaringan kulit nekrosis
· Tidak sampai > 30 menit.
Adalah terputuisnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berubah trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berubah trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Akibat trauma pada tulang tergantuing pada jenis trauma,kekuatan, dan arahnya.Taruma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ketulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
Klasifikasi patah tulang.
Patah tulang dapat dibagi menurut ada tidanya hubungan antara patahan tulang denga dunia luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk kedalam luka sampai ke tulang yang patah.
Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang.
Patang tulang juga dapat dibagi menurut garis fraktrunya misanya fisura, patah tulang sederhana, patah tulang kominutif ( pengecilan, patah tulang segmental,patah tulang impaksi ), patah tulang kompresi, impresi dan patah tulang patologis.
Derajat patah tulang terbuka terbagi atas 3 macam yaitu :
1. laserasi <>
2. Laserasi > 2 cm kontusi otot diserkitarnya bentuknya dislokasi, fragmen jelas
3. Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya bentuknya kominutif, segmental,fragmen tulang ada yang hilang
Jenis patah tulang dapat digolongkan menjadi :
1. Visura ( Diafisis metatarsal
2. Serong sederhana ( Diaphisis metacarpal )
3. Lintang sederhana ( diafisis tibia )
4. Kominutif ( Diafisis femur )
5. Segmental ( Diafisis tibia )
6. Dahan hijau ( diafisis radius pada anak )
7. Kompresi ( Korpus vertebral th. XII )
8. Impaksi ( epifisis radius distal,kolum femur lateral )
9. Impresi ( tulang tengkorak )
10. Patologis ( Tomur diafisi humerus,kurpus vertebral)
Komplikasi patah tulang .
Komplikasi patah tulang meliputi :
1. Komplikasi segera
Lokal :
· Kulit( abrasi l;acerasi, penetrasi)
· Pembuluh darah ( robek )
· Sistem saraf ( Sumssum tulang belakang, saraf tepi motorik dan sensorik)
· Otot
· Organ dalam ( jantung,paru,hepar, limpha(pada Fr.kosta),kandung kemih (Fr.Pelvics)
Umum :
· Ruda paksa multiple
· Syok ( hemoragik, neurogenik )
2. Komplikas Dini :
Lokal :
· Nekrosis kulit, gangren, sindroma kopartemen,trombosis vena, infeksi sendi,osteomelisis )
Umum :
· ARDS,emboli paru, tetanus.
3. Kompliasi lama
Lokal :
· Sendi (ankilosis fibrosa, ankilosis osal )
· Tulang ( gagal taut/lama dan salah taut,distropi reflek,osteoporosisi paskah trauma,ggn pertumbuhan,osteomelisis,patah tulang ulang)
· Otot atau tendon ( penulangan otot, ruptur tendon )
· Saraf ( kelumpuhan saraf lambat
Umum :
· Batu ginjal ( akibat mobilisasi lama ditempat tidur)
VI. Penatalaksanaan patah tulang.
Penatalaksanaan patah tulang mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya yang meliputi :
a. Jangan ciderai pasien( Primum Non Nocere).
b. Pengobatan yang tepat berdasarkanb diagnosis dan prognosisnya
c. Sesuai denga hokum alam
d. Sesuai dengan kepribadian individu
Khusus untuk patah tulang meliputi :
4. Reposisi
5. Imobilisasi
6. Mobilisasi berupa latihan seluruh system tubuh.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Riwayat perjalanan penyakit.
2. Riwayat pengobatan sebelumnya.
3. Pertolongan pertama yang dilakukan
4. Pemeriksaan fisik :
§ Identifikasi fraktur
§ Inspeksi
§ Palpasi (bengkak, krepitasi, nadi, dingin)
§ Observasi spasme otot.
5. Pemeriksaan diagnostik :
§ Laboratorium (HCt, Hb, Leukosit, LED)
§ RÖ
§ CT-Scan
6. Obat-obatan : golongan antibiotika gram (+) dan gram (-)
§ Penyakit yang dapat memperberat dan mempermudah terjadinya fraktur :
a. Osteomyelitis acut
b. Osteomyelitis kronik
c. Osteomalacia
d. Osteoporosis
e. Gout
f. Rhematoid arthritis
PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
DATA SUBYEKTIF
§ Data biografi
§ Adanya nyeri, kekakuan, kram, sakit pinggang, kemerahan, pembengkakan, deformitas, ROM, gangguan sensasi.
§ Cara PQRST :
o Provikatif (penyebab)
o Quality (bagaimana rasanya, kelihatannya)
o Region/radiation (dimana dan apakah menyebar)
o Severity (apakah mengganggu aktivitas sehari-hari)
o Timing (kapan mulainya)
§ Pengkajian pada sistem lain
o Riwayat sistem muskuloskeletal, tanyakan juga tentang riwayat kesehatan masa lalu.
o Riwayat dirawat di RS
o Riwayat keluarga, diet.
o Aktivitas sehari-hari, jenis pekerjaan, jenis alas kaki yang digunakan
o Permasalahan dapat saja baru diketahui setelah klien ganti baju, membuka kran dll.
DATA OBYEKTIF
§ Inspeksi dan palpasi ROM dan kekuatan otot
§ Bandingakan dengan sisi lainnya.
§ Pengukuran kekuatan otot (0-5)
§ Duduk, berdiri dan berjalan kecuali ada kontra indikasi.
§ Kyposis, scoliosis, lordosis.
PROSEDUR DIAGNOSTIK
X-ray dan radiography
Arthrogram (mendiagnosa trauma pada kapsul di persendian atau ligamen). Anestesi lokal sebelum dimasukkan cairan kontras/udara ke daerah yang akan diperiksa.
Lamnograph (untuk mengetahui lokasi yang mengalami destruksi atau mengevaluasi bone graf).
Scanograph (mengetahui panjang dari tulang panjang, sering dilakukan pada anak-anak sebelum operasi epifisis).
Bone scanning (cairan radioisotop dimasukkan melalui vena, sering dilakukan pada tumor ganas, osteomyelitis dan fraktur).
MRI
Arthroscopy (tindakan peneropongan di daerah sendi)
Arthrocentesis (metode pengambilan cairan sinovial)
MASALAH-MASALAH YANG UMUM TERJADI
Gangguan dalam melakukan ambulasi.
· Berdampak luas pada aspek psikososial klien.
· Klien membutuhkan imobilisasi → menyebabkan spasme otot dan kekakuan sendi
· Perlu dilakukan ROM untuk menguragi komplikasi :
- Kaki (fleksi, inverse, eversi, rotasi)
- Pinggul (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi)
- Lutut (ekstensi)
- Jari-jari kaki (ektensi, fleksi)
Nyeri; tindakan keperawatan :
· Merubah posisi pasien
· Kompres hangat, dingin
· Pemijatan
· Menguragi penekanan dan support social
· Apabila nyeri di sendi, perlu dikaji :
- Kejadian sebelum terjadinya nyeri
- Derajat nyeri pada saat nyeri pertama timbul
- Penyebaran nyeri
- Lamanya nyeri
- Intensitas nyeri, apakah menyertai pergerakan
- Sumber nyeri
- Hal-hal yang dapat mengurangi nyeri.
Spasme otot
· Spasme otot (kram/kontraksi otot involunter)
· Spasme otot dapat disebabkan iskemi jaringan dan hipoksia.
· Tindakan keperawatan :
a. Rubah posisi
b. Letakkan guling kecil di bawah pergelangan kaki dan lutut
c. Berikan ruangan yang cukup hangat
d. Hindari pemberian obat sedasi berat → dapat menurunkan aktivitas pergerakan selama tidur
e. Beri latihan aktif dan pasif sesuai program
INTERVENSI
1. Istirahat
· Istirahat adalah intervensi utama
· Membantu proses penyembuhan dan meminimalkan inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
· Pemasangan bidai/gips.
1. Kompres hangat
· Rendam air hangat/kantung karet hangat
· Diikuti dengan latihan pergerakan/pemijatan
· Dampak fisiologis dari kompres hangat adalah :
o Perlunakan jaringan fibrosa
o Membuat relaks otot dan tubuh
o Menurunkan atau menghilangkan nyeri
o Meningkatkan suplai darah/melancarkan aliran darah.
2. Kompres dingin
· Metoda tidak langsung seperti cold pack
· Dampak fisiologis adalah vasokonstriksi dan penerunan metabolic
· Membantu mengontrol perdarahan dan pembengkakan karena trauma
· Nyeri dapat berkurang, dapat menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot
· Harus hati-hati, dapat menyebabkan jaringan kulit nekrosis
· Tidak sampai > 30 menit.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN LAPARATOMI
Pengertian
Pembedahan perut sampai dengan membuka selaput perut .
Ada 4 cara, yaitu;
1. Midline incision
2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
Indikasi
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
2. Peritonitis
3. Perdarahan saluran pencernaan.
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5. Masa pada abdomen ( Tumor, cyste dll).
PERAWATAN PRE OPERATIF
PENGKAJIAN
Point penting dalam riwayat keperawatan preoperative :
· Umur
· Alergi terhadap obat, makanan
· Pengalaman pembedahan
· Pengalaman anestesi
· Tembakau, alcohol, obat-obatan
· Lingkungan
· Kemampuan self care
· Support system
PEMERIKSAAN FISIK
· Pengkajian dasar preop dilakukan untuk :
· Menentukan data dasar
· Masalah pengobatan yang tersembunyi
· Potensial komplikasi berhubungan dengan anestesi
· Potensial komplikasi post op.
Fokus : Riwayat dan sistem tubuh yang mempengaruhi prosedur pembedahan.
System kardiovaskuler
Untuk menentukan kekuatan jantung dan kemampuan untuk mentoleransi pembedahan dan anestesi.
Perubahan jantung à 39 % kematian perioperatif.
Sistem pernapasan
Lansia, smoker, PPOM Ã resiko atelektasis, kolap jaringan paru.
à Mencegah pertukaran oksigen/CO2
à Intoleransi karena perubahan dalam dada dan paru.
à Regiditas cavum thoraks dan menurunnya ekspansi paru à efisiensi ekskresi paru terhadap anestesi menurun.
Renal system
Abnormal renal fungsi menurunkan rata ekskresi obat dan anestesi
Skopolamin, morphin à konfusi disorientasi
Neuorologi system :
Kemampuan ambulasi, dan reflek, serta aktivitas lainya.
Muskulussceletal
Deformitas à mempengaruhi posisi intra dan post-operasi
Artritis à menerima posisi à nyeri post-operasi oleh karena immobilisasi
Kekuatan, tonus otot.
Status Nutrisi
Malnutrisi, obesitas à resiko tinggi pembedahan
Vit. C , vit.B diperlukan untuk penyembuhan luka dan pembentukan fibrin.
Obesitas à wondhiling menurun oleh karena jaringan lemak tinggi
Psikososial asesment
Tujuan : menentukan kemampuan coping
Informasi
Support
Laboratorium
Analisis:
Pengetahuan kurang sehubungan dengan pengalaman pre-op
Kecemasan sehubungan dengan pengalaman pre-op
Pengetahuan kurang ( knowledge defisite )
Tujuan : Klien mengatakan dan mematuhi prosedur pre-op
Mendemostrasikan teknik untuk mencegah komplikasi post-op
Intervensi
Fokus : Edukasi pre-operasi
Informasi : Informed consent, pembatasan diit, pre-operatip preparation, post-op exersice.
Informed Consent :
- alasan pembedahan
- pilhan dan resikonya
- resiko pembedahan
- resiko anestesi
Pembatasan diit à NPO (nothing per oral )à 6 – 8 jam sebelum pembedahan GI (gastro intestinal ) preparasi :
- mencegah perlukaan colon
- melihat jelas area
- mengurangi bacteri intestinal
Skin preparasi
Tube, drain, Intra Venous line
Post – op exercise :
- diaphragmatic breating
- incestive spirometri
- cougling and spinting the surgical wound
- turning and leg exercise
Kecemasan :
Tujuan : kecemasan klien menurun , menunjukkan relaksasi saat istirahat
Intervensi :
- preoperatip teaching
- comunikatip
- rest.
INTERVENSI KLIEN INTRA OPERATIF
Anggota tim pembedahan
Tim pembedahan terdiri dari :
· Ahli bedah
· Tim pembedahan dipimpin oleh ahli bedah senior atau ahli bedah yang sudah melakukan operasi.
· Asisten pembedahan (1orang atau lebih) asisten bius dokter, risiden, atau perawat, di bawah petunjuk ahli bedah. Asisten memegang retractor dan suction untuk melihat letak operasi.
· Anaesthesologist atau perawat anaesthesi.
· Perawat anesthei memberikan obat-obat anesthesia dan obat-obat lain untuk mempertahankan status fisik klien selama pembedahan.
· Circulating Nurse
· Peran vital sebelum, selama dan sesudah pembedahan.
Tugas :
- Set up ruangan operasi
- Menjaga kebutuhan alat
- Check up keamanan dan fungsi semua peralatan sebelum pembedahan
- Posisi klien dan kebersihan daerah operasi sebelum drapping.
- Memenuhi kebutuhan klien, memberi dukungan mental, orientasi klien.
Selama pembedahan :
- Mengkoordinasikan aktivitas
- Mengimplementasikan NCP
- Membenatu anesthetic
- Mendokumentasikan secara lengkap drain, kateter, dll.
· Surgical technologist atau Nurse scrub; bertanggung jawab menyiapkan dan mengendalikan peralatan steril dan instrumen, kepada ahli bedah/asisten. Pengetahuan anatomi fisiologi dan prosedur pembedahan memudahkan antisipasi instrumen apa yang dibutuhkan.
Penyiapan kamar dan team pembedahan.
Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci meja operasi. Dua factor penting yang berhubungan dengan keamanan kamar pembedahan : lay out kamar operasi dan pencegahan infeksi.
1). Lay Out pembedahan.
Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan RR dan pelayanan pendukung (bank darah, bagian pathologi dan radiology, dan bagian logistik).
Alur lalu lintas yang menyebabkan kontaminasi dan ada pemisahan antara hal yang bersih dan terkontaminasi à design (protektif, bersih, steril dan kotor).
Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan rumah sakit.
Umumnya :
· Kamar terima
· Ruang untuk peralatan bersih dan kotor.
· Ruang linen bersih.
· Ruang ganti
· Ruang umum untuk pembersihan dan sterilisasi alat.
· Scrub area.
Ruang operasi terdiri dari :
· Stretcher atau meja operasi.
· Lampu operasi.
· Anesthesia station.
· Meja dan standar instrumen.
· Peralatan suction.
· System komunikasi.
2). Kebersihan dan Kesehatan Team Pembedahan.
Sumber utama kontaminasi bakteri à team pembedahan yang hygiene ¯ dan kesehatan ¯ ( kulit, rambut, saluran pernafasan).
Pencegahan kontaminasi :
· Cuci tangan.
· Handscoen.
· Mandi.
· Perhiasan (-) cincin, jam tangan, gelang.
3). Pakaian bedah.
Terdiri : Kap, Masker, gaun, Tutup sepatu, baju OK.
Tujuan: Menurunkan kontaminasi.
4). Surgical Scrub.
Cuci tangan pembedahan dilakukan oleh :
· Ahli Bedah
· Semua asisten
· Scrub nurse.
à sebelum menggunakan sarung tangan dan gaun steril.
Alat-alat:
· Sikat cucin tangan reuable / disposible.
· Anti microbial : betadine.
· Pembersih / pemotong kuku.
à Waktu : 5 – 10 menit à dikeringkan dengan handuk steril.
Anasthesia.
Anasthesia (Bahasa Yunani) Ã Negatif Sensation.
Anasthesia menyebabkan keadaan kehilangan rasa secara partial atau total, dengan atau tanpa disertai kehilangan kesadaran.
Tujuan: Memblok transmisi impuls syaraf, menekan refleks, meningkatkan relaksasi otot.
Pemilihan anesthesia oleh anesthesiologist berdasarkan konsultasi dengan ahli bedah dan factor klien.
Type anasthesia:
Perawat perlu mengenal ciri farmakologic terhadap obat anesthesia yang digunakan dan efek terhadap klien selama dan sesudah pembedahan.
1. Anasthesia Umum.
Adalah keadaan kehilangan kesadaran yang reversible karena inhibisi impulse saraf otak.
Misal : bedah kepala, leher. Klien yang tidak kooperatif.
Stadium Anesthesia
Stadium I : Relaksasi
Mulai klien sadar dan kehilangan kesadaran secara bertahab.
Stadium II : Excitement.
Mulai kehilangan kesadaran secara total sampai dengan pernafasan yang iregulair dan pergerakan anggota badan tidak teratur.
Stadium III : Ansethesi pembedahan..
Ditandai dengan relaksasi rahang, respirasi teratur, penurunan pendengaran dan sensasi nyeri.
Stadium IV : Bahaya.
Apnoe, Cardiapolmunarry arrest, dan kematian.
Metode Pemberian
Inhalasi , IV injection. Instilasi rectal
Inhalasi
Metode yang paling dapat dikontrol karena intak dan eliminasi secara primer oleh paru.
Obat anesthesia inhalasi yang diberikan :
Gas: Nitrous Axida ( N20).
Paling sering digunakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau. Non iritasi dengan masa induksi dan pemulihan yang cepat.
Jenis yang biasa dipakai;
a. Folatile:
b. Halotan :
c. Ethrane.
d. Penthrane.
e. Forane.
Anesthesi Injeksi IV.
Memberikan perasaan senang., cepat dan pelepasan obat secara pelan. Jenis opbat yamng biasa dipakai;
Ø Barbiturat.
Ø Narcotik:
Ø Inovar
Ø Ketamine
Ø Neuromusculer Brochler.
Anestesi Local Atau Regional
Anestesi local atau regional secara sementara memutus transmisi impuls saraf menuju dan dari lokasi khusus.
Teknik pemberian.
Anestesi Topikal
Pemberian secara langsung pada permukaan area yang dianestesi
Bentuk: Salep atau spray.
Lokal Anestesi
Injeksi obat anestesi secara I C dan S C ke jaringan sekitar insisi, luka atau lesi.
Field Block
Injeksi secara bertahab pada sekeliling daerah yang dioperasi
( hernioraphy , dental prosedur ,bedah plstik )
Nerve Block
Injeksi obat anestesi local ke dalam atau sekitar saraf atau saraf yang mempesarafi daerah yang dioperasi. Block saraf memutus transmisi sensasi, motor, sympatis.
Spinal Anestesi / Intra Techal
Dicapai dengan injecsi obat anestesi ke dalam ruang sub orachonoid.
Pada L 2 – 3 atau L 3 – 4.
PENGKAJIAN :
Di ruang penerimaan perawat sirkulasi:
- Memvalidasi identitas klien.
- Memvalidasi inform concent.
Chart Review.
- Memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi kebutuhan actual dan potensial selama pembedahan.
- Mengkaji dan merencanakan kebutuhan klien selama dan sesudah operasi.
Perawat menanyakan.:
- Riwayat allergi, reaksi sebelumnya terhadap anesthesia atau tranfusi darah.
- Check riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
- Check pengobatan sebelumnya : therapy, anticoagulasi.
- Check adanya gigi palsu, kontaks lens, perhiasan, wigs dan dilepas.
- Ã Kateterisasi.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN.
1. Resiko for injury berhubungan dengan anesthesia, posisi intra operatif dan bahaya lain dari lingkungan intra operatif.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka operasi.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan anesthesia
4. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dan cairan tubuh selama pembedahan.
PERENCANAAN
Resiko for injury berhubungan dengan anesthesia, posisi intra operatif dan bahaya lain dari lingkungan intra operatif.
Tujuan : Klien akan dipertahankan dalam keadaan anesthesia yang aman selama pembedahan dan bebas dari perlukaan peralatan operasi.
INTERVENSI:
- Persiapan dan penggunaan obat anesthesia yang tepat.
- Positioning à posisi yang tepat.
Untuk menjamin posisi yang tepat dikaji : kesesuaian fisiologiss, perubahan sirkulasi yang minimal, proteksi struktur tulang dan neuromusculair, penggunaan dan lokasi IV line, cara anesthesia, keamanan dan keselamatan klien.
- Penggunaan peralatan elektrik. Lempeng grounding yang ditutupi jeli tidak menekan tubuh.
- Chek hati-hati alat / electrosurgical à mencegah luka bakar.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka operasi.
Tujuan: Klien akan mengalami gangguan integritas kulit yang dan kontaminasi yang minimal.
Intervensi:
- Plastic adhesive drape setelah daerah pembedahan dibersihkan dan kering.
- Penutupan kulit:
- Tujuan:
- Menutup lumen pembuluh darah.
- Mencegah perdarahan dan kehilangan cairan tubuh.
- Mencegah kontaminasi luka.
Dua factor yang menentukan kekuatan penutupan luka :
- Materi jahitan.
Ahli bedah akan memilih metode dan type penutupan kulit berdasarkan letak incisi, ukuran dan kedalaman luka, usia dan riwayat medik klien.
- Staples dan plester digunakan untuk menutup luka superfisialis atau epidermis.
Benang jahit : Absorbable dan non absorbable.
Ukuran benang : 0.-5, 2 – 0 –11- 0.
INTERVENSI KLIEN POST OPERASI.
PENGKAJIAN;
Setelah menerima laporan dari perawat sirkulasi, dan pengkajian klien, perawat mereview catatan klien yang berhubungan dengan riwayat klien, status fisik dan emosi, sebelum pembedahan dan alergi.
Pemeriksaan Fisik Dan Manifestasi Klinik
System Pernafasan.
Ketika klien dimasukan ke PACU, Perawat segera mengkaji klien:
- Potency jalan nafas, Ã meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
- Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR <>
- Auscultasi paru à keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
- Inspeksi: Pergerakan didnding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
Thorax Drain.
Sistem Cardiovasculer.
Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tiap 15 menit ( 4 x ), 30 menit (4x). 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi stabil.
Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung à depresi miocard, shock, perdarahan atau overdistensi.
Nadi meningkat à shock, nyeri, hypothermia.
Kaji sirkulasi perifer (kualitas denyut, warna, temperatur dan ukuran ektremitas).
Homan’s saign à trombhoplebitis pada ekstrimitas bawah (edema, kemerahan, nyeri).
Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
- Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
- Ukur cairan à NG tube, out put urine, drainage luka.
- Kaji intake / out put.
- Monitor cairan intravena dan tekanan darah.
Sistem Persyarafan.
- Kaji fungsi serebral dan tingkat kesadaran à semua klien dengan anesthesia umum.
- Klien dengan bedah kepala leher : à respon pupil, kekuatan otot, koordinasi. Anesthesia umum à depresi fungsi motor.
Sistem Perkemihan.
- Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.
Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi à retensio urine.
Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusià abdomen bawah (distensi buli-buli).
- Dower catheter à kaji warna, jumlah urine, out put urine <>
Sistem Gastrointestinal.
- Mual muntah à 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.
- Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
- Kaji paralitic ileus à suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
- jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
- Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
· Meningkatkan istirahat.
· Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
· Memonitor perdarahan.
· Mencegah obstruksi usus.
· Irigasi atau pemberian obat.
Sistem Integumen.
- Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada infeksi, trauma, malnutrisi, obat-obat steroid.
- Penyembuhan sempurna sekitar 6 bulan – satu tahun.
- Ketidak efektifan penyembuhan luka dapat disebabkan :
· Infeksi luka.
· Diostensi dari udema / palitik ileus.
· Tekanan pada daerah luka.
· Dehiscence.
· Eviscerasi.
Drain dan Balutan
Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit pada saat di ruang PAR, (Jumlah, warna, konsistensi dan bau cairan drain dan tanggal observasi), dan minimal tiap 8 jam saat di ruangan.
Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan posisi intra operative.
Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan darah, hypertensi, diaphorosis, gelisah, menangis. Kualitas nyeri sebelum dan setelah pemberian analgetika.
Pemeriksaan Laboratorium.
Dilakukan untuk memonitor komplikasi .
Pemeriksaan didasarkan pada prosedur pembedahan, riwayat kesehatan dan manifestasi post operative. Test yang lazim adalah elektrolit, Glukosa, dan darah lengkap.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN.
1. Gangguan pertukaran gas, berhubungan dengan efek sisa anesthesia, imobilisasi, nyeri.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka pemebedahan, drain dan drainage.
3. Nyeri berhubungan dengan incisi pembedahan dan posisi selama pembedahan.
4. Potensial terjadi perlukaan berhubungan dengan effect anesthesia, sedasi, analgesi.
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan intra dan post operasi.
6. Ketidak efektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan skresi.
7. Perubahan eliminasi urine ( penurunan) berhubungan dengan obat anesthesia dan immobilisasi.
PERENCANAAN
Gangguan pertukaran gas
Tujuan :
Klien akan mempertahankan ekspansi paru dan fungsi pernapasan yang adekuat.
Intervensi :
- Posistioning klien untuk mencegah aspirasi
- Insersi mayo à mencegah obstruksi, melakukan suction.
- Pemberian aksigen
- Endotracheal tube/mayo dilepas à refleks gag kembali
- Dorong batuk dan bernapas dalam 5 – 10 x setiap 2 jam. Khususnya 72 jam pertama (potensial komplikasi :atelektasis, pneumonia).
- Klien dengan penyakit paru, orang tua, perokok, panas spirometer.
- Suction.
Gangguan integritas kulit
Tujuan :
- luka klien akan sembuh tanpa komlikasi luka post operatif.
Penyebab luka infeksi :
- kontaminasi selama pembedahan
- infeksi preoperative
- teknik aseptic yang terputus
- status klien yang jelek.
Intervensi :
- Terapi obat :
antibiotik profilaksis spectrum luas (24 – 72 jam post op)
perawatan luka dengan gaas antibiotik.
- Balutan luka : ganti sesuai order dokter. Luka yang ditutup dengan balutan dibuka 3-6 hari.
- Drain :
evakuasi cairan dan udara
mencegah luka infeksi yang dalam dan pembentukan abses pada luka bedah.
Nyeri
Tujuan : klien akan mengalami pengurangan nyeri akibat luka bedah dan posisi selama operasi.
Intervensi :
- Terapi obat :
· Pemberian anlgetik narkotik dan non narkotik à nyeri akut (meperidin hydroclorida, morphine sulphate, codein sulphate, dan lain-lain.)
· Mengkaji tipe, lokasi ditensitas nyeri sebelum pemberian obat.
· Pada pembedahan yang luas à kontrol nyeri à iv pump.
· Observasi tekanan darah, pernapasan, kesadaran, (depresi napas, hyotensi, mual, muntah à komplikasi narkotik).
Metode pangendalian nyeri yang lain :
positioning
perubahan posisi tiap 2 jam
masase
EVALUASI :
Kriteria hasil yang diharapkan pada klien post op adalah :
1. Mempertahankan ekspansi paru dan fungsi yang adekuat yang ditandai suara napas jernih.
2. Mengikuti diet TKTP
3. menjelaskan dan mendemonstrasikan perawatan balutan dan drain.
4. Penyembuhan komplit tanpa komplikasi
5. Mengungkapkan nyeri hilang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dr. Sutisna Himawan (editor). Kumpulan Kuliah Patologi. FKUI
Brunner / Sudart. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB. Lippincott Company. Philadelphia. 1984.
Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987, Edisi II
Pembedahan perut sampai dengan membuka selaput perut .
Ada 4 cara, yaitu;
1. Midline incision
2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
Indikasi
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
2. Peritonitis
3. Perdarahan saluran pencernaan.
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5. Masa pada abdomen ( Tumor, cyste dll).
PERAWATAN PRE OPERATIF
PENGKAJIAN
Point penting dalam riwayat keperawatan preoperative :
· Umur
· Alergi terhadap obat, makanan
· Pengalaman pembedahan
· Pengalaman anestesi
· Tembakau, alcohol, obat-obatan
· Lingkungan
· Kemampuan self care
· Support system
PEMERIKSAAN FISIK
· Pengkajian dasar preop dilakukan untuk :
· Menentukan data dasar
· Masalah pengobatan yang tersembunyi
· Potensial komplikasi berhubungan dengan anestesi
· Potensial komplikasi post op.
Fokus : Riwayat dan sistem tubuh yang mempengaruhi prosedur pembedahan.
System kardiovaskuler
Untuk menentukan kekuatan jantung dan kemampuan untuk mentoleransi pembedahan dan anestesi.
Perubahan jantung à 39 % kematian perioperatif.
Sistem pernapasan
Lansia, smoker, PPOM Ã resiko atelektasis, kolap jaringan paru.
à Mencegah pertukaran oksigen/CO2
à Intoleransi karena perubahan dalam dada dan paru.
à Regiditas cavum thoraks dan menurunnya ekspansi paru à efisiensi ekskresi paru terhadap anestesi menurun.
Renal system
Abnormal renal fungsi menurunkan rata ekskresi obat dan anestesi
Skopolamin, morphin à konfusi disorientasi
Neuorologi system :
Kemampuan ambulasi, dan reflek, serta aktivitas lainya.
Muskulussceletal
Deformitas à mempengaruhi posisi intra dan post-operasi
Artritis à menerima posisi à nyeri post-operasi oleh karena immobilisasi
Kekuatan, tonus otot.
Status Nutrisi
Malnutrisi, obesitas à resiko tinggi pembedahan
Vit. C , vit.B diperlukan untuk penyembuhan luka dan pembentukan fibrin.
Obesitas à wondhiling menurun oleh karena jaringan lemak tinggi
Psikososial asesment
Tujuan : menentukan kemampuan coping
Informasi
Support
Laboratorium
Analisis:
Pengetahuan kurang sehubungan dengan pengalaman pre-op
Kecemasan sehubungan dengan pengalaman pre-op
Pengetahuan kurang ( knowledge defisite )
Tujuan : Klien mengatakan dan mematuhi prosedur pre-op
Mendemostrasikan teknik untuk mencegah komplikasi post-op
Intervensi
Fokus : Edukasi pre-operasi
Informasi : Informed consent, pembatasan diit, pre-operatip preparation, post-op exersice.
Informed Consent :
- alasan pembedahan
- pilhan dan resikonya
- resiko pembedahan
- resiko anestesi
Pembatasan diit à NPO (nothing per oral )à 6 – 8 jam sebelum pembedahan GI (gastro intestinal ) preparasi :
- mencegah perlukaan colon
- melihat jelas area
- mengurangi bacteri intestinal
Skin preparasi
Tube, drain, Intra Venous line
Post – op exercise :
- diaphragmatic breating
- incestive spirometri
- cougling and spinting the surgical wound
- turning and leg exercise
Kecemasan :
Tujuan : kecemasan klien menurun , menunjukkan relaksasi saat istirahat
Intervensi :
- preoperatip teaching
- comunikatip
- rest.
INTERVENSI KLIEN INTRA OPERATIF
Anggota tim pembedahan
Tim pembedahan terdiri dari :
· Ahli bedah
· Tim pembedahan dipimpin oleh ahli bedah senior atau ahli bedah yang sudah melakukan operasi.
· Asisten pembedahan (1orang atau lebih) asisten bius dokter, risiden, atau perawat, di bawah petunjuk ahli bedah. Asisten memegang retractor dan suction untuk melihat letak operasi.
· Anaesthesologist atau perawat anaesthesi.
· Perawat anesthei memberikan obat-obat anesthesia dan obat-obat lain untuk mempertahankan status fisik klien selama pembedahan.
· Circulating Nurse
· Peran vital sebelum, selama dan sesudah pembedahan.
Tugas :
- Set up ruangan operasi
- Menjaga kebutuhan alat
- Check up keamanan dan fungsi semua peralatan sebelum pembedahan
- Posisi klien dan kebersihan daerah operasi sebelum drapping.
- Memenuhi kebutuhan klien, memberi dukungan mental, orientasi klien.
Selama pembedahan :
- Mengkoordinasikan aktivitas
- Mengimplementasikan NCP
- Membenatu anesthetic
- Mendokumentasikan secara lengkap drain, kateter, dll.
· Surgical technologist atau Nurse scrub; bertanggung jawab menyiapkan dan mengendalikan peralatan steril dan instrumen, kepada ahli bedah/asisten. Pengetahuan anatomi fisiologi dan prosedur pembedahan memudahkan antisipasi instrumen apa yang dibutuhkan.
Penyiapan kamar dan team pembedahan.
Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci meja operasi. Dua factor penting yang berhubungan dengan keamanan kamar pembedahan : lay out kamar operasi dan pencegahan infeksi.
1). Lay Out pembedahan.
Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan RR dan pelayanan pendukung (bank darah, bagian pathologi dan radiology, dan bagian logistik).
Alur lalu lintas yang menyebabkan kontaminasi dan ada pemisahan antara hal yang bersih dan terkontaminasi à design (protektif, bersih, steril dan kotor).
Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan rumah sakit.
Umumnya :
· Kamar terima
· Ruang untuk peralatan bersih dan kotor.
· Ruang linen bersih.
· Ruang ganti
· Ruang umum untuk pembersihan dan sterilisasi alat.
· Scrub area.
Ruang operasi terdiri dari :
· Stretcher atau meja operasi.
· Lampu operasi.
· Anesthesia station.
· Meja dan standar instrumen.
· Peralatan suction.
· System komunikasi.
2). Kebersihan dan Kesehatan Team Pembedahan.
Sumber utama kontaminasi bakteri à team pembedahan yang hygiene ¯ dan kesehatan ¯ ( kulit, rambut, saluran pernafasan).
Pencegahan kontaminasi :
· Cuci tangan.
· Handscoen.
· Mandi.
· Perhiasan (-) cincin, jam tangan, gelang.
3). Pakaian bedah.
Terdiri : Kap, Masker, gaun, Tutup sepatu, baju OK.
Tujuan: Menurunkan kontaminasi.
4). Surgical Scrub.
Cuci tangan pembedahan dilakukan oleh :
· Ahli Bedah
· Semua asisten
· Scrub nurse.
à sebelum menggunakan sarung tangan dan gaun steril.
Alat-alat:
· Sikat cucin tangan reuable / disposible.
· Anti microbial : betadine.
· Pembersih / pemotong kuku.
à Waktu : 5 – 10 menit à dikeringkan dengan handuk steril.
Anasthesia.
Anasthesia (Bahasa Yunani) Ã Negatif Sensation.
Anasthesia menyebabkan keadaan kehilangan rasa secara partial atau total, dengan atau tanpa disertai kehilangan kesadaran.
Tujuan: Memblok transmisi impuls syaraf, menekan refleks, meningkatkan relaksasi otot.
Pemilihan anesthesia oleh anesthesiologist berdasarkan konsultasi dengan ahli bedah dan factor klien.
Type anasthesia:
Perawat perlu mengenal ciri farmakologic terhadap obat anesthesia yang digunakan dan efek terhadap klien selama dan sesudah pembedahan.
1. Anasthesia Umum.
Adalah keadaan kehilangan kesadaran yang reversible karena inhibisi impulse saraf otak.
Misal : bedah kepala, leher. Klien yang tidak kooperatif.
Stadium Anesthesia
Stadium I : Relaksasi
Mulai klien sadar dan kehilangan kesadaran secara bertahab.
Stadium II : Excitement.
Mulai kehilangan kesadaran secara total sampai dengan pernafasan yang iregulair dan pergerakan anggota badan tidak teratur.
Stadium III : Ansethesi pembedahan..
Ditandai dengan relaksasi rahang, respirasi teratur, penurunan pendengaran dan sensasi nyeri.
Stadium IV : Bahaya.
Apnoe, Cardiapolmunarry arrest, dan kematian.
Metode Pemberian
Inhalasi , IV injection. Instilasi rectal
Inhalasi
Metode yang paling dapat dikontrol karena intak dan eliminasi secara primer oleh paru.
Obat anesthesia inhalasi yang diberikan :
Gas: Nitrous Axida ( N20).
Paling sering digunakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau. Non iritasi dengan masa induksi dan pemulihan yang cepat.
Jenis yang biasa dipakai;
a. Folatile:
b. Halotan :
c. Ethrane.
d. Penthrane.
e. Forane.
Anesthesi Injeksi IV.
Memberikan perasaan senang., cepat dan pelepasan obat secara pelan. Jenis opbat yamng biasa dipakai;
Ø Barbiturat.
Ø Narcotik:
Ø Inovar
Ø Ketamine
Ø Neuromusculer Brochler.
Anestesi Local Atau Regional
Anestesi local atau regional secara sementara memutus transmisi impuls saraf menuju dan dari lokasi khusus.
Teknik pemberian.
Anestesi Topikal
Pemberian secara langsung pada permukaan area yang dianestesi
Bentuk: Salep atau spray.
Lokal Anestesi
Injeksi obat anestesi secara I C dan S C ke jaringan sekitar insisi, luka atau lesi.
Field Block
Injeksi secara bertahab pada sekeliling daerah yang dioperasi
( hernioraphy , dental prosedur ,bedah plstik )
Nerve Block
Injeksi obat anestesi local ke dalam atau sekitar saraf atau saraf yang mempesarafi daerah yang dioperasi. Block saraf memutus transmisi sensasi, motor, sympatis.
Spinal Anestesi / Intra Techal
Dicapai dengan injecsi obat anestesi ke dalam ruang sub orachonoid.
Pada L 2 – 3 atau L 3 – 4.
PENGKAJIAN :
Di ruang penerimaan perawat sirkulasi:
- Memvalidasi identitas klien.
- Memvalidasi inform concent.
Chart Review.
- Memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi kebutuhan actual dan potensial selama pembedahan.
- Mengkaji dan merencanakan kebutuhan klien selama dan sesudah operasi.
Perawat menanyakan.:
- Riwayat allergi, reaksi sebelumnya terhadap anesthesia atau tranfusi darah.
- Check riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
- Check pengobatan sebelumnya : therapy, anticoagulasi.
- Check adanya gigi palsu, kontaks lens, perhiasan, wigs dan dilepas.
- Ã Kateterisasi.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN.
1. Resiko for injury berhubungan dengan anesthesia, posisi intra operatif dan bahaya lain dari lingkungan intra operatif.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka operasi.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan anesthesia
4. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dan cairan tubuh selama pembedahan.
PERENCANAAN
Resiko for injury berhubungan dengan anesthesia, posisi intra operatif dan bahaya lain dari lingkungan intra operatif.
Tujuan : Klien akan dipertahankan dalam keadaan anesthesia yang aman selama pembedahan dan bebas dari perlukaan peralatan operasi.
INTERVENSI:
- Persiapan dan penggunaan obat anesthesia yang tepat.
- Positioning à posisi yang tepat.
Untuk menjamin posisi yang tepat dikaji : kesesuaian fisiologiss, perubahan sirkulasi yang minimal, proteksi struktur tulang dan neuromusculair, penggunaan dan lokasi IV line, cara anesthesia, keamanan dan keselamatan klien.
- Penggunaan peralatan elektrik. Lempeng grounding yang ditutupi jeli tidak menekan tubuh.
- Chek hati-hati alat / electrosurgical à mencegah luka bakar.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka operasi.
Tujuan: Klien akan mengalami gangguan integritas kulit yang dan kontaminasi yang minimal.
Intervensi:
- Plastic adhesive drape setelah daerah pembedahan dibersihkan dan kering.
- Penutupan kulit:
- Tujuan:
- Menutup lumen pembuluh darah.
- Mencegah perdarahan dan kehilangan cairan tubuh.
- Mencegah kontaminasi luka.
Dua factor yang menentukan kekuatan penutupan luka :
- Materi jahitan.
Ahli bedah akan memilih metode dan type penutupan kulit berdasarkan letak incisi, ukuran dan kedalaman luka, usia dan riwayat medik klien.
- Staples dan plester digunakan untuk menutup luka superfisialis atau epidermis.
Benang jahit : Absorbable dan non absorbable.
Ukuran benang : 0.-5, 2 – 0 –11- 0.
INTERVENSI KLIEN POST OPERASI.
PENGKAJIAN;
Setelah menerima laporan dari perawat sirkulasi, dan pengkajian klien, perawat mereview catatan klien yang berhubungan dengan riwayat klien, status fisik dan emosi, sebelum pembedahan dan alergi.
Pemeriksaan Fisik Dan Manifestasi Klinik
System Pernafasan.
Ketika klien dimasukan ke PACU, Perawat segera mengkaji klien:
- Potency jalan nafas, Ã meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
- Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR <>
- Auscultasi paru à keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
- Inspeksi: Pergerakan didnding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
Thorax Drain.
Sistem Cardiovasculer.
Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung dikaji tiap 15 menit ( 4 x ), 30 menit (4x). 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi stabil.
Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung à depresi miocard, shock, perdarahan atau overdistensi.
Nadi meningkat à shock, nyeri, hypothermia.
Kaji sirkulasi perifer (kualitas denyut, warna, temperatur dan ukuran ektremitas).
Homan’s saign à trombhoplebitis pada ekstrimitas bawah (edema, kemerahan, nyeri).
Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
- Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
- Ukur cairan à NG tube, out put urine, drainage luka.
- Kaji intake / out put.
- Monitor cairan intravena dan tekanan darah.
Sistem Persyarafan.
- Kaji fungsi serebral dan tingkat kesadaran à semua klien dengan anesthesia umum.
- Klien dengan bedah kepala leher : à respon pupil, kekuatan otot, koordinasi. Anesthesia umum à depresi fungsi motor.
Sistem Perkemihan.
- Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.
Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi à retensio urine.
Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusià abdomen bawah (distensi buli-buli).
- Dower catheter à kaji warna, jumlah urine, out put urine <>
Sistem Gastrointestinal.
- Mual muntah à 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.
- Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
- Kaji paralitic ileus à suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
- jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
- Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
· Meningkatkan istirahat.
· Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
· Memonitor perdarahan.
· Mencegah obstruksi usus.
· Irigasi atau pemberian obat.
Sistem Integumen.
- Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu. Jika tidak ada infeksi, trauma, malnutrisi, obat-obat steroid.
- Penyembuhan sempurna sekitar 6 bulan – satu tahun.
- Ketidak efektifan penyembuhan luka dapat disebabkan :
· Infeksi luka.
· Diostensi dari udema / palitik ileus.
· Tekanan pada daerah luka.
· Dehiscence.
· Eviscerasi.
Drain dan Balutan
Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit pada saat di ruang PAR, (Jumlah, warna, konsistensi dan bau cairan drain dan tanggal observasi), dan minimal tiap 8 jam saat di ruangan.
Pengkajian Nyeri
Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan posisi intra operative.
Kaji tanda fisik dan emosi; peningkatan nadi dan tekanan darah, hypertensi, diaphorosis, gelisah, menangis. Kualitas nyeri sebelum dan setelah pemberian analgetika.
Pemeriksaan Laboratorium.
Dilakukan untuk memonitor komplikasi .
Pemeriksaan didasarkan pada prosedur pembedahan, riwayat kesehatan dan manifestasi post operative. Test yang lazim adalah elektrolit, Glukosa, dan darah lengkap.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN.
1. Gangguan pertukaran gas, berhubungan dengan efek sisa anesthesia, imobilisasi, nyeri.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka pemebedahan, drain dan drainage.
3. Nyeri berhubungan dengan incisi pembedahan dan posisi selama pembedahan.
4. Potensial terjadi perlukaan berhubungan dengan effect anesthesia, sedasi, analgesi.
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan intra dan post operasi.
6. Ketidak efektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan skresi.
7. Perubahan eliminasi urine ( penurunan) berhubungan dengan obat anesthesia dan immobilisasi.
PERENCANAAN
Gangguan pertukaran gas
Tujuan :
Klien akan mempertahankan ekspansi paru dan fungsi pernapasan yang adekuat.
Intervensi :
- Posistioning klien untuk mencegah aspirasi
- Insersi mayo à mencegah obstruksi, melakukan suction.
- Pemberian aksigen
- Endotracheal tube/mayo dilepas à refleks gag kembali
- Dorong batuk dan bernapas dalam 5 – 10 x setiap 2 jam. Khususnya 72 jam pertama (potensial komplikasi :atelektasis, pneumonia).
- Klien dengan penyakit paru, orang tua, perokok, panas spirometer.
- Suction.
Gangguan integritas kulit
Tujuan :
- luka klien akan sembuh tanpa komlikasi luka post operatif.
Penyebab luka infeksi :
- kontaminasi selama pembedahan
- infeksi preoperative
- teknik aseptic yang terputus
- status klien yang jelek.
Intervensi :
- Terapi obat :
antibiotik profilaksis spectrum luas (24 – 72 jam post op)
perawatan luka dengan gaas antibiotik.
- Balutan luka : ganti sesuai order dokter. Luka yang ditutup dengan balutan dibuka 3-6 hari.
- Drain :
evakuasi cairan dan udara
mencegah luka infeksi yang dalam dan pembentukan abses pada luka bedah.
Nyeri
Tujuan : klien akan mengalami pengurangan nyeri akibat luka bedah dan posisi selama operasi.
Intervensi :
- Terapi obat :
· Pemberian anlgetik narkotik dan non narkotik à nyeri akut (meperidin hydroclorida, morphine sulphate, codein sulphate, dan lain-lain.)
· Mengkaji tipe, lokasi ditensitas nyeri sebelum pemberian obat.
· Pada pembedahan yang luas à kontrol nyeri à iv pump.
· Observasi tekanan darah, pernapasan, kesadaran, (depresi napas, hyotensi, mual, muntah à komplikasi narkotik).
Metode pangendalian nyeri yang lain :
positioning
perubahan posisi tiap 2 jam
masase
EVALUASI :
Kriteria hasil yang diharapkan pada klien post op adalah :
1. Mempertahankan ekspansi paru dan fungsi yang adekuat yang ditandai suara napas jernih.
2. Mengikuti diet TKTP
3. menjelaskan dan mendemonstrasikan perawatan balutan dan drain.
4. Penyembuhan komplit tanpa komplikasi
5. Mengungkapkan nyeri hilang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dr. Sutisna Himawan (editor). Kumpulan Kuliah Patologi. FKUI
Brunner / Sudart. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB. Lippincott Company. Philadelphia. 1984.
Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987, Edisi II
Asuhan Keperawatan Perioperatif pada Klien Dengan PyeloNeprolithotomi Dextra"
1. Pengertian
Adanya batu (kalkuli) pada saluran perkemihan dalam ginjal, ureter, atau kandung kemih yang terdiri dari; yang membentuk kristal; kalsium, oksalat, fosfat, kalsium urat, asam urat dan magnesium.
Batu dapat menyebabkan obstruksi, infeksi atau oedema pada saluran perkemihan, kira-kira 75% dari semua batu yang terbentuk terdiri atas; kalsium
Faktor resiko batu ginjal meliputi; stasis perkemihan, infeksi saluran perkemihan, hiperparatiroidismem penyakit infeksi usus, gout, intake kalsium dan vit D berlebih, immobilitas lama dan dehidrasi.
2. Faktor –faktor yang mempengaruhi pembentukan batu;
a. Faktor Endogen
Faktor genetik, familial pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria
b. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum.
3. Faktor lain;
a. Infeksi
Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan batu saluran kencing . Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi alkali.
b. Stasis dan Obstruksi urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah infeksi saluran kencing.
c. Jenis kelamin
Pria lebih banyak dar ipada wanita
d. Ras
Batu saluran kencing lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia.
e. Keturunan
Annggota keluarga batu saluran kencing lebih banyak mempunyai kesempatan.
f. Air minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat
g. Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
h. Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat
i. Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas BSk berkurang .Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita Batu Saluran Kencing (buli-buli dan Urethra)
4. Patogenesis
Sebagian besar batu saluran kencing adalah idiopatik, bersifat simptomatik ataupun asimptomatik.
5. Teori terbentuknya batu
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoproptein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti; sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristaliasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substasi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin, asam dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat..
d. Teori Berkurangnya faktor penghambat
Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing.
6. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Urinalisa; warna mungkin kuning ,coklat gelap,berdarah,secara umum menunjukan Sel Darah Merah, Sel Darah Putih, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), ph asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), urine 24 jam :kreatinin, asam urat kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukan Infeksi Saluran Kencing, BUN/kreatinin serum dan urine; abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
b. Darah lengkap: Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
c. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH. Merangsang reabsobsi kalsiumm dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine.
d. Foto Rontgen; menunjukan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
e. IVP.: memberukan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri, abdominal atau panggul.Menunjukan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter).
f. Sistoureterokopi;visualiasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukan batu atau efek obstruksi.
g. USG ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.
7. Penatalaksanaan;
a. Menghilangkan obstruksi
b. Mengobati infeksi
c. Menghilangkan rasa nyeri.
d. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi.
8. Komplikasi:
a. Infeksi
b. Obstruksi
c. Hidronephrosis.
1. Pendahuluan
Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon fisiologis dan psikologis pada klien, tergantung pada individu dan pengalaman masa lalu yang unik, pola koping, kekuatan dan keterbatasan. Kebanyakan klien dan keluarganya memandang setiap tindakan bedah merupakan peristiwa besar dan mereka bereaksi dengan takut dan ansietas pada tingkat tertentu.
2. Pengertian Pyeloneprolithotomi
Pyeloneprolithotomi adalah tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu dari ginjal dan pyelum.
3. Pengertian Keperawatan Perioperatif
Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanggung jawab keperawatan yang berhubungan dengan fase-fase preoperatif, intraoperatif, pemulihan pascaanestesi dan pascabedah.
Sepanjang periode perioperatif, perawat menerapkan proses keperawatan untuk mengidentifikasi fungsi positip, perubahan fungsi, dan potensial perubahan fungsi pada klien. Adapun tanggung jawab keperawatan untuk masing-masing fase berfokus pada masalah kesehatan spesifik aktual atau resiko.
4. Fokus Asuhan Keperawatan Pada periode Perioperatif
1. Fase Preoperatif
a. Pengkajian Preoperatif
b. Penyuluhan Preoperatif
c. Persiapan untuk pindah ke ruang operasi
d. Dukungan orang terdekat
2. Fase Intraoperatif
a. Keamanan lingkungan
b. Kontrol Asepsis
c. Pemantauan fisiologis
d. Dukungan psikologis (prainduksi)
e. Pemindahan ke ruang pemulihan pascaanestesi
3. Fase Pemulihan Pascaanestesi
a. Pemantauan fisiologis (jantung, pernafasan, sirkulasi, ginjal dan neurologis )
b. Dukungan psikologis
c. Keamanan lingkungan
d. Tindakan kenyamanan
e. Stabilitas untuk pindah ke unit atau bangsal
4. Fase Pascaoperatif
a. Pemantauan fisiologis
b. Dukungan psikologis Tindakan kenyamanan
c. Dukungan orang terdekat
d. Keseimbangan fisiologis (nutrisi, cairan dan eliminasi)
e. Mobilisasi
f. Penyembuhan luka
g. Penyuluhan pulang.
Pengkajian Preoperatif Pyelonephrolithotomi
Meliputi : data umum, data dasar dan data fokus, yaitu ;
Pemahaman klien tentang kejadian
- Ahli bedah bertanggung jawab, untuk menjelaskan sifat operasi, semua pilihan alternatif, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Ahli bedah mendapatkan dua consent (ijin) satu untuk prosedur bedah dan satu untuk anestesi. Perawat bertanggung jawab untuk menentukan pemahaman klien tentang informasi, lalu memberitahu ahli bedah apakah diperlukan informasi lebih banyak (informed consent).
Kondisi akut dan kronis :
- Untuk mengkompensasi pengaruh trauma bedah dan anestesi, tubuh manusia membutuhkan fungsi pernafasan, sirkulasi, jantung, ginjal, hepar dan hematopoetik yang optimal. Setiap kondisi yang mengganggu fungsi sistem ini (misalnya: DM, gagal jantung kongestif, PPOM. Anemia, sirosuis, gagal ginjal) dapat mempengaruhi pemulihan. Disamping itu faktor lain, misalnya usia lanjut, kegemukan dan penyalahgunaan obat / alkohol membuat klien lebih rentan terhadap komplikasi.
Pengalaman bedah sebelumnya
- Perawat mengajukan pertanyaan spesifik pada klien tentang pengalaman pembedahan masa lalu. Informasi yang didapatkandigunakan untuk meningkatkan kenyamanan (fisik dan psikologis) untuk mencegah komplikasi serius.
Status Nutrisi
- Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya pada trauma pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik karena trauma atau bedah, tubuh harus membentuk dan memperbaiki jaringan serta melindungi diri dari infeksi. Untuk membantu proses ini, klien harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat dengan cukup untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif, hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan. Status nutrisi merupakan akibat masukan tidak adekuat, mempengaruhi metabolik atau meningkatkan kebutuhan metabolik.
Status cairan dan elektrolit
- Klien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektolit cenderung mengalami shock, hipotensi, hipoksia, dan disritmia, baik pada intraoperatif dan pascaoperatif. Fluktuasi valume cairan merupakan akibat dari penurunan masukan cairan atau kehilangan cairan abnormal.
Status emosi.
- Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan yang direncanakan tergantung pada pengalaman masa lalu, strategi koping, signifikan pembedahan dan sistem pendukung.
- Kebanyakan klien dengan pembedahan mengalami ancietas dan ketakutan yang disebabkan penatalaksanaan tindakan operasi, nyeri, dan immobilitas.
Diagnosa Keperawatan Preoperatif (persiapan untuk pindah ke ruang operasi)
Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang regimen penatalaksanaan tindakan operasi.
Rencana Keperawatan
Diagnosa Ansietas/takut berhubungan dengan situasi/lingkungan ruang premedikasi dan operasi
Tanda- tanda :
Subyektif :-Klien mengatakan semalam tidak bisa tidur/sering terbangun membayangkan operasi.
Klien menanyakan berapa lama saya dioperasi.
Klien bertanya dimana ruang operasinya.
Obyektif :-Ekspresi wajah tegang, nadi meningkat, tekanan darah meningkat/turun, keluar keringat dingin, jantung berdebar-debar.
Kreteria hasil :
Ekspresi Wajah rileks.
Berpartisipasi pada prosedur keperawatan.
Mampu mengungkapkan perasaannya.
Menyatakan penurunan ansietas/takut.
Intervensi
Rasional
Mandiri :
1. Kaji tingkat kecemasan klien
2. Berikan penentraman hati dan tindakan kenyamanan:
a. Temani klien selama di ruang premedikasi
b. Berikan kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya
c. Kenalkan kembali pada kenyataan yang ada
d. Kurangi stimulus sensori
e. Ajak klien untuk mengadakan pendekatan spritual sesuai dengan kemampuan dan situasi
f. Perjelas informasi dokter tentang rencana tindakan operasi dan kemungkinan-kemungkinannya.
g. Orientasikan klien pada ruang operasi dan peralatannya.
h. Minimalkan keributan/lalu lalang
i. Tinggal dengan pasien selama induksi
j. Tunjukan perhatian /sikap mendukung
k. Tetap matikan lampu sampai pasien tertidur
l. Lanjutkan pemantauan psikologis
m. Catat respon yang tak terduga
n. Lepaskan gigi palsu/kaca mata/alat bantu dengar di ruang operasi.
o. Kolaborasi, pemberian anti ansietas
Tingkat kecemasan sebagai dasar perencanaan perawatan
Mengurangi rasa takut
Mengurangi kecemasan
Eksplorasi perasaan dapat mengurangi ketegangan
Suport untuk koping yang positip
Mengurangi ketegangan
Menenangkan jiwa
Meyakinkan klien sekaligus menerima secara realistis
Mengurangi ketakutan/kecemasan.
Mengurangi kecemasan
Mengurangi kecemasan.
Menjaga keamanan
Memberi kepercayaan kepada klien.
Memberi ketenangan
Antisipasi terhadap perubahan psikologis
Menjaga keamanan
Mengurangi kecemasan
Fase Intra Operatif
Pengelolaan Keamanan:
a. Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian.
b. Mengatur posisi pasien
- Posisi fungsional
- Membuka daerah untuk operasi
- Mempertahankan posisi selama prosedur.
c. Memasang alat grounding
d. Menyiapkan bantuan fisik
Pemantauan fisiologis
a. Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan
b. Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.
c. Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah dan RR.)
Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar
a. Menyiapkan bantuan emosional
b. Melanjutkan observasi status emosional
c. Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.
Manajemen Keperawatan
a. Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.
b. Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali
c. Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.
Anggota Tim Fase intraoperatif
a. Tim bedah utama steril
- Ahli bedah utama
- Asisten ahli bedah
- Perawat instrumentator.
b. Tim anestesi:
- Ahli anestesi atau pelaksana anestesi
- Circulating nurse
- Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.)
Tugas perawat instrumentator
a. Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi.
b. Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur
c. Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah
d. Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang diperlukan untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk pelaksanaan kegiatan yang efektif perawat instrumen harus memiliki pengetahuan tehnik aseptik yang baik, ketrampilan tangan dan ketangkasan, stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan, sangat menghayati kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan pasien yang optimal.
Tugas Perawat Circulating
Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang operasi, perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan dan harus mengelola asuhan keperawatan yang diperluikan pasien.
Periode Pemulihan Pasca Anestesi
Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan homeostasis. Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami kompensasi tak efektif terhadap efek merugikan dari pembedahan dan anestesi pada jantung, sirkulasi, pernafasan dan fungsi lain.
Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase /periode pemulihan pasca anrestesi adalah :
a. Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan sekresi sekunder terhadap intubasi.
b. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada jaringan dan syaraf.
c. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap anestesia
d. Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu ruang operasi yang dingin.
Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit perawatan adalah sbb. :
a. Kemampuan memutar kepala
b. Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.
c. Sadar, mudah terbangun.
d. Tanda-tanda vital stabil
e. Balutan kering dan utuh
f. Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.
g. Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.
h. Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.
Adanya batu (kalkuli) pada saluran perkemihan dalam ginjal, ureter, atau kandung kemih yang terdiri dari; yang membentuk kristal; kalsium, oksalat, fosfat, kalsium urat, asam urat dan magnesium.
Batu dapat menyebabkan obstruksi, infeksi atau oedema pada saluran perkemihan, kira-kira 75% dari semua batu yang terbentuk terdiri atas; kalsium
Faktor resiko batu ginjal meliputi; stasis perkemihan, infeksi saluran perkemihan, hiperparatiroidismem penyakit infeksi usus, gout, intake kalsium dan vit D berlebih, immobilitas lama dan dehidrasi.
2. Faktor –faktor yang mempengaruhi pembentukan batu;
a. Faktor Endogen
Faktor genetik, familial pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria
b. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum.
3. Faktor lain;
a. Infeksi
Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan batu saluran kencing . Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi alkali.
b. Stasis dan Obstruksi urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah infeksi saluran kencing.
c. Jenis kelamin
Pria lebih banyak dar ipada wanita
d. Ras
Batu saluran kencing lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia.
e. Keturunan
Annggota keluarga batu saluran kencing lebih banyak mempunyai kesempatan.
f. Air minum
Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat
g. Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
h. Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat
i. Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas BSk berkurang .Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita Batu Saluran Kencing (buli-buli dan Urethra)
4. Patogenesis
Sebagian besar batu saluran kencing adalah idiopatik, bersifat simptomatik ataupun asimptomatik.
5. Teori terbentuknya batu
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoproptein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti; sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristaliasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substasi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin, asam dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat..
d. Teori Berkurangnya faktor penghambat
Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing.
6. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Urinalisa; warna mungkin kuning ,coklat gelap,berdarah,secara umum menunjukan Sel Darah Merah, Sel Darah Putih, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), ph asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), urine 24 jam :kreatinin, asam urat kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukan Infeksi Saluran Kencing, BUN/kreatinin serum dan urine; abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
b. Darah lengkap: Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
c. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH. Merangsang reabsobsi kalsiumm dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine.
d. Foto Rontgen; menunjukan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
e. IVP.: memberukan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri, abdominal atau panggul.Menunjukan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter).
f. Sistoureterokopi;visualiasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukan batu atau efek obstruksi.
g. USG ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.
7. Penatalaksanaan;
a. Menghilangkan obstruksi
b. Mengobati infeksi
c. Menghilangkan rasa nyeri.
d. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi.
8. Komplikasi:
a. Infeksi
b. Obstruksi
c. Hidronephrosis.
1. Pendahuluan
Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon fisiologis dan psikologis pada klien, tergantung pada individu dan pengalaman masa lalu yang unik, pola koping, kekuatan dan keterbatasan. Kebanyakan klien dan keluarganya memandang setiap tindakan bedah merupakan peristiwa besar dan mereka bereaksi dengan takut dan ansietas pada tingkat tertentu.
2. Pengertian Pyeloneprolithotomi
Pyeloneprolithotomi adalah tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu dari ginjal dan pyelum.
3. Pengertian Keperawatan Perioperatif
Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanggung jawab keperawatan yang berhubungan dengan fase-fase preoperatif, intraoperatif, pemulihan pascaanestesi dan pascabedah.
Sepanjang periode perioperatif, perawat menerapkan proses keperawatan untuk mengidentifikasi fungsi positip, perubahan fungsi, dan potensial perubahan fungsi pada klien. Adapun tanggung jawab keperawatan untuk masing-masing fase berfokus pada masalah kesehatan spesifik aktual atau resiko.
4. Fokus Asuhan Keperawatan Pada periode Perioperatif
1. Fase Preoperatif
a. Pengkajian Preoperatif
b. Penyuluhan Preoperatif
c. Persiapan untuk pindah ke ruang operasi
d. Dukungan orang terdekat
2. Fase Intraoperatif
a. Keamanan lingkungan
b. Kontrol Asepsis
c. Pemantauan fisiologis
d. Dukungan psikologis (prainduksi)
e. Pemindahan ke ruang pemulihan pascaanestesi
3. Fase Pemulihan Pascaanestesi
a. Pemantauan fisiologis (jantung, pernafasan, sirkulasi, ginjal dan neurologis )
b. Dukungan psikologis
c. Keamanan lingkungan
d. Tindakan kenyamanan
e. Stabilitas untuk pindah ke unit atau bangsal
4. Fase Pascaoperatif
a. Pemantauan fisiologis
b. Dukungan psikologis Tindakan kenyamanan
c. Dukungan orang terdekat
d. Keseimbangan fisiologis (nutrisi, cairan dan eliminasi)
e. Mobilisasi
f. Penyembuhan luka
g. Penyuluhan pulang.
Pengkajian Preoperatif Pyelonephrolithotomi
Meliputi : data umum, data dasar dan data fokus, yaitu ;
Pemahaman klien tentang kejadian
- Ahli bedah bertanggung jawab, untuk menjelaskan sifat operasi, semua pilihan alternatif, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Ahli bedah mendapatkan dua consent (ijin) satu untuk prosedur bedah dan satu untuk anestesi. Perawat bertanggung jawab untuk menentukan pemahaman klien tentang informasi, lalu memberitahu ahli bedah apakah diperlukan informasi lebih banyak (informed consent).
Kondisi akut dan kronis :
- Untuk mengkompensasi pengaruh trauma bedah dan anestesi, tubuh manusia membutuhkan fungsi pernafasan, sirkulasi, jantung, ginjal, hepar dan hematopoetik yang optimal. Setiap kondisi yang mengganggu fungsi sistem ini (misalnya: DM, gagal jantung kongestif, PPOM. Anemia, sirosuis, gagal ginjal) dapat mempengaruhi pemulihan. Disamping itu faktor lain, misalnya usia lanjut, kegemukan dan penyalahgunaan obat / alkohol membuat klien lebih rentan terhadap komplikasi.
Pengalaman bedah sebelumnya
- Perawat mengajukan pertanyaan spesifik pada klien tentang pengalaman pembedahan masa lalu. Informasi yang didapatkandigunakan untuk meningkatkan kenyamanan (fisik dan psikologis) untuk mencegah komplikasi serius.
Status Nutrisi
- Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya pada trauma pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik karena trauma atau bedah, tubuh harus membentuk dan memperbaiki jaringan serta melindungi diri dari infeksi. Untuk membantu proses ini, klien harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat dengan cukup untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif, hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan. Status nutrisi merupakan akibat masukan tidak adekuat, mempengaruhi metabolik atau meningkatkan kebutuhan metabolik.
Status cairan dan elektrolit
- Klien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektolit cenderung mengalami shock, hipotensi, hipoksia, dan disritmia, baik pada intraoperatif dan pascaoperatif. Fluktuasi valume cairan merupakan akibat dari penurunan masukan cairan atau kehilangan cairan abnormal.
Status emosi.
- Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan yang direncanakan tergantung pada pengalaman masa lalu, strategi koping, signifikan pembedahan dan sistem pendukung.
- Kebanyakan klien dengan pembedahan mengalami ancietas dan ketakutan yang disebabkan penatalaksanaan tindakan operasi, nyeri, dan immobilitas.
Diagnosa Keperawatan Preoperatif (persiapan untuk pindah ke ruang operasi)
Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang regimen penatalaksanaan tindakan operasi.
Rencana Keperawatan
Diagnosa Ansietas/takut berhubungan dengan situasi/lingkungan ruang premedikasi dan operasi
Tanda- tanda :
Subyektif :-Klien mengatakan semalam tidak bisa tidur/sering terbangun membayangkan operasi.
Klien menanyakan berapa lama saya dioperasi.
Klien bertanya dimana ruang operasinya.
Obyektif :-Ekspresi wajah tegang, nadi meningkat, tekanan darah meningkat/turun, keluar keringat dingin, jantung berdebar-debar.
Kreteria hasil :
Ekspresi Wajah rileks.
Berpartisipasi pada prosedur keperawatan.
Mampu mengungkapkan perasaannya.
Menyatakan penurunan ansietas/takut.
Intervensi
Rasional
Mandiri :
1. Kaji tingkat kecemasan klien
2. Berikan penentraman hati dan tindakan kenyamanan:
a. Temani klien selama di ruang premedikasi
b. Berikan kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya
c. Kenalkan kembali pada kenyataan yang ada
d. Kurangi stimulus sensori
e. Ajak klien untuk mengadakan pendekatan spritual sesuai dengan kemampuan dan situasi
f. Perjelas informasi dokter tentang rencana tindakan operasi dan kemungkinan-kemungkinannya.
g. Orientasikan klien pada ruang operasi dan peralatannya.
h. Minimalkan keributan/lalu lalang
i. Tinggal dengan pasien selama induksi
j. Tunjukan perhatian /sikap mendukung
k. Tetap matikan lampu sampai pasien tertidur
l. Lanjutkan pemantauan psikologis
m. Catat respon yang tak terduga
n. Lepaskan gigi palsu/kaca mata/alat bantu dengar di ruang operasi.
o. Kolaborasi, pemberian anti ansietas
Tingkat kecemasan sebagai dasar perencanaan perawatan
Mengurangi rasa takut
Mengurangi kecemasan
Eksplorasi perasaan dapat mengurangi ketegangan
Suport untuk koping yang positip
Mengurangi ketegangan
Menenangkan jiwa
Meyakinkan klien sekaligus menerima secara realistis
Mengurangi ketakutan/kecemasan.
Mengurangi kecemasan
Mengurangi kecemasan.
Menjaga keamanan
Memberi kepercayaan kepada klien.
Memberi ketenangan
Antisipasi terhadap perubahan psikologis
Menjaga keamanan
Mengurangi kecemasan
Fase Intra Operatif
Pengelolaan Keamanan:
a. Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian.
b. Mengatur posisi pasien
- Posisi fungsional
- Membuka daerah untuk operasi
- Mempertahankan posisi selama prosedur.
c. Memasang alat grounding
d. Menyiapkan bantuan fisik
Pemantauan fisiologis
a. Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan
b. Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.
c. Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah dan RR.)
Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar
a. Menyiapkan bantuan emosional
b. Melanjutkan observasi status emosional
c. Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.
Manajemen Keperawatan
a. Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.
b. Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali
c. Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.
Anggota Tim Fase intraoperatif
a. Tim bedah utama steril
- Ahli bedah utama
- Asisten ahli bedah
- Perawat instrumentator.
b. Tim anestesi:
- Ahli anestesi atau pelaksana anestesi
- Circulating nurse
- Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.)
Tugas perawat instrumentator
a. Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi.
b. Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur
c. Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah
d. Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang diperlukan untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk pelaksanaan kegiatan yang efektif perawat instrumen harus memiliki pengetahuan tehnik aseptik yang baik, ketrampilan tangan dan ketangkasan, stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan, sangat menghayati kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan pasien yang optimal.
Tugas Perawat Circulating
Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang operasi, perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan dan harus mengelola asuhan keperawatan yang diperluikan pasien.
Periode Pemulihan Pasca Anestesi
Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan homeostasis. Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami kompensasi tak efektif terhadap efek merugikan dari pembedahan dan anestesi pada jantung, sirkulasi, pernafasan dan fungsi lain.
Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase /periode pemulihan pasca anrestesi adalah :
a. Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan sekresi sekunder terhadap intubasi.
b. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada jaringan dan syaraf.
c. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap anestesia
d. Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu ruang operasi yang dingin.
Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit perawatan adalah sbb. :
a. Kemampuan memutar kepala
b. Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.
c. Sadar, mudah terbangun.
d. Tanda-tanda vital stabil
e. Balutan kering dan utuh
f. Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.
g. Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.
h. Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN FRAKTUR HUMERUS
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
a Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
c Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :
1) Fraktur Suprakondilar Humerus
2) Fraktur Interkondiler Humerus
3) Fraktur Batang Humerus
4) Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1) Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2) Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.
(Mansjoer, Arif, et al, 2000)
d Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.
Keuntungan :
1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3) Klien tidak akan tirah baring lama.
4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.
2. Anatomi Dan Fisiologi
a Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
b Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)
c Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.
1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
2) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
d Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2) Tempat mlekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
3. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 1993)
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
c. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
6. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.
a Terhadap Klien
1) Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi
2) Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3) Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.
4) Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.
2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.
1. Pengertian
a Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
c Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :
1) Fraktur Suprakondilar Humerus
2) Fraktur Interkondiler Humerus
3) Fraktur Batang Humerus
4) Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1) Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2) Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.
(Mansjoer, Arif, et al, 2000)
d Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.
Keuntungan :
1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3) Klien tidak akan tirah baring lama.
4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.
2. Anatomi Dan Fisiologi
a Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
b Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)
c Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.
1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
2) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
d Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2) Tempat mlekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
3. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 1993)
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
c. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
6. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.
a Terhadap Klien
1) Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi
2) Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3) Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.
4) Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.
2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
AsuhanKeperawatan Pada Klien Dengan Skoliosis 1. Pengertian Skoliosis adalah lengkungan atau kurvatura lateral pada tulang belakang akibat r...
-
PENDAHULUAN Susunan somatomotorik ialah susunan saraf yang mengurus hal yang berhubungan dengan gerakan otot-otot skeletal. Susunan itu terd...
-
Protrusi diskus intervertebralis atau biasa disebut hernia nukleus pulposus (HNP) adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan nukleus pul...