Minggu, 01 Agustus 2010

ASKEP BPH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)
1. Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu benigna yang timbul di dalam kelenjar periuretral, bukan kelenjar prostat yang sebenarnya. Tetapi ia tumbuh di dalam prostat, sehingga menekan dan mendorong prostat ke lateral untuk membentuk “kapsula bedah” (Sabiston, 1994).
Benigna Prostat Hiperplasia adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2000). Menurut Mansyur (2000), istilah hipertropi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
Jadi dari tiga pendapat di atas diambil kesimpulan bahwa yang mengalami penambahan sel (hiperplasia) adalah kelenjar periuretral kemudian menekan dan mendorong prostat ke lateral dan menjadi simpai bedah (hipertropi).

2. Etiologi
Etiologi dari benigna prostat hipertropi belum diketahui secara pasti, tapi umur dan fungsi androgenik laki-laki merupakan dua faktor terbesar yang memicu terjadinya benigna prostat hipertropi.
Menurut Sabiston (1994), etiologi benigna prostat hipertropi belum pasti namun berhubungan dengan perubahan rasio androgen terhadap estrogen yang diketahui berubah dengan penuaan.

3. Patofisiologi
Prostat merupakan kelenjar yang berkapsul, beratnya kira-kira 20 gram yang melingkari uretra pria di bawah vesika urinaria. Proses pembesaran prostat terjadi perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Menurut Mansyur (2000), pada tahap awal terjadi resistensi yang meningkat pada leher buli-buli dan daerah prostat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut kompensasi. Jika berlanjut maka detrusor lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi. Jika tidak mampu lagi berkontraksi akan terjadi retensi urine yang selanjutnya menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

Skema : Patofisiologi BPH dan Penanganannya
Penuaan (peningkatan usia) 























Perubahan hormon

pembesaran prostat
(hiperplasia prostat)

resistensi leher buli-buli,otot detrusor menebal dan merenggang
(fase kompensasi)

timbul sakulasi atau divertikel

detrusor lelah, mengalami dekompensasi, tidak mampu berkontraksi

retensi urine, residu urine dalam buli-buli

tekanan intravesika meningkat

hidronefrosis, hidroureter, pyelonefritis, uremia

Konservatif :
• obat
• observasi balance cairan Pembedahan :
• TURP
• open prostatektomi
• TUIP

Sumber : Mansyur (2000)

4. Manifestasi Klinis
Menurut Mansyur (2000), biasanya gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symtoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesistancy), harus mengedan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinen karena overflow.

5. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu infeksi, saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
b) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urine, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli.



6. Penatalaksanaan
a) Observasi (watchfull waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan (skor Madsen Iversen ≤ 9).
Nasehat yang diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (para simpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.
b) Terapi Medikamentosa
1) Penghambat adrenegik 
Obat-obat yang sering dipakai ialah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif  1a (tamsulosin). Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis  – 1 adrenergik karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi di daerah prostat. Hal ini akan menurunkan tekanan pada urethra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1 – 2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing-pusing (dizzines), capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah.
2) Penghambat enzim 5 -  - reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan  bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Efektivitasnya masih diperdebatkan karena baru menunjukkan perbaikan sedikit dari keluhan pasien setelah 6 - 12 bulan pengobatan bila dimakan terus-menerus. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido, ginekomastia, dan dapat menurunkan nilai PSA (masking effect).


3) Fitoterapi
Pengobatan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, sapalmetto, serenoa repeus, dll. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1 – 2 bulan.
c) Terapi Bedah
Menurut Sabiston (1994), satu-satunya terapi efektif adalah pembedahan dengan 4 pendekatan yaitu :
1) Reseksi Transurethra
Ahli bedah mereseksi jaringan prostat melalui urethra dengan resektoskop yang digunakan saat ini dari unit bedah listrik.
2) Prostatektomi Suprapubik
Prostatektomi suprapubik dilakukan melalui insisi abdomen rendah digaris tengah, melalui ini vesika urinaria dibuka, adenoma prostat dienukleasi dengan jari tangan sepanjang bidang kapsul bedah.
3) Prostatektomi Retropubik
Tindakan ini melalui pendekatan abdomen rendah dan insisi transversa dibuat melalui kapsul prostat. Setelah prostat dienukleasi maka jahitan hemostatik ditempatkan dan baji serviks vesika uretra ditempatkan dalam vesika urinaria maka kapsul prostat ditutup.
4) Prostatektomi Perineal
Pasien dalam posisi litotomi, insisi perineal dibuat dan diseksi dilakukan melalui tendo sentral dan muskulus rekto uretralis untuk memaparkan prostat. Insisi dibuat melalui kapsul prostat dan adenoma dienuklasi dari bawah. Angka impotensi pasca bedah mencapai 50%.
d) Perawatan Post Operasi
Menurut Pedoman Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pasien Penyakit Bedah RS DR. Sardjito Yogyakarta (1996), perawatan untuk pasien post operasi open prostatektomi suprapubik adalah sebagai berikut :
1) 0 – 24 jam post operasi, irigasi guyur (lebih dari 60 tetes/menit)
2) Hari I post operasi, irigasi 40 – 60 tetes/menit, fiksasi DC luar dilepas.
3) Hari II post operasi, irigasi 30 – 40 tetes/menit.
4) Hari III post operasi, irigasi 20 – 30 tetes/menit, drainase dilepas dengan catatan sudah tidak produktif.
5) Hari IV post operasi, irigasi intermitten.
6) Hari V post operasi, irigasi dilepas.
7) Hari VI post operasi, dilakukan evaluasi.
8) Hari VII post operasi, bila kateter lancar dan baik dilepas.

B. Gambaran Umum Asuhan Keperawatan Pasien Post Open Prostatektomi Suprapubik
1. Pengkajian
Observasi/temuan menurut Tucker, et al.(1998) yaitu :
a) Haluaran urine : karakter, jumlah.
b) Hemorragi : drainase merah terang dan bekuan dari kateter.
c) Syok
d) Spasme kandung kemih
e) Distensi kandung kemih : nyeri suprapubik, peningkatan TD, takikardi, diaforesis, gelisah.
f) Dilusi hipernatremia : peningkatan TD, sakit kepala, disorientasi, edema paru.
g) Dilusi hiponatremia : kelemahan otot, ketakutan, mual, muntah.
h) Hiperpnea
i) Hipotensi
j) Ekstravasasi urine ke dalam rongga abdomen : abdomen tegang, kaku, peningkatan suhu tubuh, gagal ginjal.
k) Kateter bebad tegangan, paten : lipatan (sumbatan mukosa, bekuan darah), sistem drainase gravitasi tertutup, irigasi kandung kemih secara terus menerus, bocoran urine di sekitar kateter suprapubik.
l) Pengangkatan kateter indwelling : inkontinensia, disuria, hematuria, kontraktur leher kandung kemih (menetes, sering berkemih, kesulitan dalam memulai aliran perkemihan, aliran urine kecil), retensi urine dengan aliran berlebihan, fistula perkemihan, ketidakmampuan berkemih.
m) Kemerahan insisi, bengkak, nyeri, drainase.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post open prostatektomi menurut Doenges (2000) antara lain :
a) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik : bekuan darah, edema, trauma, dan prosedur bedah, tekanan, iritasi, kateter/balon.
b) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler, kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan pra operasi.
c) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering dan trauma jaringan.
d) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih, refleks spasme otot akibat prosedur bedah dan/atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi).
e) Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital), ancaman konsep diri/perubahan status kesehatan.
f) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Tucker (1998) :
a) Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, spasme kandung kemih, dan retensi urine.
b) Perubahan pola eliminasi perkemihan berhubungan dengan reseksi pembedahan dan irigasi kandung kemih.
c) Potensial terhadap infeksi berhubungan dengan adanya kateter di kandung kemih dan insisi bedah.
d) Potensial terhadap kelebihan cairan berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP).
e) Potensial kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.
f) Potensial terhadap ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan anastesi.
g) Disfungsi seksual berhubungan dengan ejakulasi retrograd (bedah suprapubik).
h) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pasca operasi.
3. Perencanaan
Perencanaan untuk pasien dengan post open prostatektomi suprapubik menurut Doenges (2000), yaitu :
a) Diagnosa 1 : Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik : bekuan darah, edema, trauma, dan prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter/balon.
Tujuan :
1) Pasien mampu berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
2) Pasien menunjukkan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemihnya.
Intervensi :
1) Kaji haluaran urine dan sistem kateter/drainase
Rasional : Retensi dapat terjadi karena edema pra bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2) Perhatikan waktu, jumlah urine, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih urgensi.
Rasional : Kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah pembedahan tetapi berkemih dapat kembali berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
3) Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak boleh lebih dari 2-4 jam per protokol.
Rasional : Berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine.
4) Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik .
Rasional : Mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih.
5) Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam hari setelah kateter dilepas.
Rasional : Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
6) Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
Rasional : Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih.
7) Anjurkan pasien bahwa penetesan diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai kemajuan.
Rasional : Informasi membantu pasien untuk menerima masalah.
8) Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu sesuai indikasi pada periode pasca operasi dini.
Rasional : Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi kateter/aliran urine.

b) Diagnosa 2 : Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah vaskuler, kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan pra operasi.
Tujuan :
1) Pasien mampu mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik, membran mukosa lembab dan keluaran urine tepat.
2) Menunjukkan tidak ada perdarahan aktif.
Intervensi :
1) Awasi pemasukan dan pengeluaran
Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.
2) Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlanjut.
Rasional : Perdarahan yang tidak umum terjadi selama 24 jam pertama tapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinu atau berat/berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi/evaluasi medik.
3) Evaluasi warna dan konsentrasi urine
Rasional : Warna merah terang dengan bekuan darah mengindikasikan perdarahan dari arterial dan perlu terapi cepat.
Peningkatan viskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap menunjukkan perdarahan dari vena (perdarahan yang paling umum) biasanya berkurang sendiri.
Perdarahan tanpa bekuan dapat mengindikasikan diskrasia darah atau masalah pembekuan sistemik.
4) Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernafasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.
Rasional : Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjutnya ke syok.
5) Anjurkan masukan cairan 3000 ml/hari kecuali kontraindikasi.
Rasional : Membilas ginjal/kandung kemih dari bakteri dan debris tapi tidak mengakibatkan intoksikasi cairan atau kelebihan cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
6) Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, misalnya Hb, Ht, jumlah sel darah merah, pemeriksaan koagulasi dan jumlah trombosit.
Rasional : Berguna dalam evaluasi kehilangan darah atau kebutuhan penggantian, dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi seperti penurunan faktor pembekuan dan KID.
7) Berikan pelunak faeces atau laksatif sesuai indikasi.
Rasional : Pencegahan konstipasi/mengejan untuk defekasi menurunkan perdarahan rektal-perianal.

c) Diagnosa 3 : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering, dan trauma jaringan, insisi bedah.
Tujuan :
1) Pasien mampu mencapai waktu penyembuhan.
2) Pasien tidak mengalami infeksi.
Intervensi :
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik di sekitar sisi kateter.
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/sepsis lebih lanjut.
2) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernafasan cepat, gelisah, peka, disorientasi.
Rasional : Pasien yang mengalami syok bedah/septik sehubungan dengan manipulasi/ instrumentasi.
3) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.
Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko infeksi yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
4) Ganti balutan dengan sering (insisi supra/retropubik dan perineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi, merupakan media untuk pertumbuhan bakteri.
5) Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktitk sehubungan dengan peningkatan resiko infeksi pada prostatektomi.

d) Diagnosa 4 : Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih, refleks spasme otot akibat prosedur pembedahan dan/atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi).
Tujuan :
1) Pasien menyatakan nyeri berkurang.
2) Pasien mampu menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
3) Pasien tampak rileks, tidur/istirahat dengan tepat
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas, skala (0-10).
Rasional : Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih/pasase urine sekitar kateter menunjukkan spasme kandung kemih, yang cenderung lebih berat pada pendekatan suprapubik atau TUR (biasanya menurun setelah 48 jam).
2) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase.
Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih.
3) Berikan tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung) dan aktivitas terapeutik. Dorong penggunaan teknik relaksasi termasuk latihan nafas dalam, visualisasi, pedoman imajinasi.
Rasional : Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
4) Kolaborasi pemberian antispasmodik dan analgesik.
Rasional : Antispasmodik menghilangkan spasme kandung kemih, analgesik membantu mengurangi nyeri insisi.

e) Diagnosa 5 : Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital), ancaman konsep diri, perubahan status kesehatan.
Tujuan :
1) Pasien tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi.
2) Pasien menyatakan pemahaman situasi individual.
3) Pasien menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah.
Intervensi :
1) Berikan keterbukaan pada pasien/orang terdekat untuk membicarakan tentang masalah inkontinensia dan fungsi seksual.
Rasional : Dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang diberikan sebelumnya.
2) Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional : Impotensi fisiologi terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur radikal, pada pendekatan lain, aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6-8 minggu.
3) Diskusikan ejakulasi retrograd bila pendekatan trans uretral/suprapubik digunakan.
Rasional : Cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan disekresikan melalui urine. Ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh.
4) Rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi
Rasional : Masalah menetap/tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.

f) Diagnosa 6 : Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosa, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan :
1) Pasien menyatakan pemahaman prosedur bedah dan pengobatan.
2) Pasien dan keluarga berpartisipasi dalam program perawatan dan pengobatan.
Intervensi :
1) Tekanan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah, meningkatkan diet tinggi serat.
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi, menurunkan resiko perdarahan pasca operasi.
2) Diskusikan pembatasan aktivitas, contoh menghindari mengangkat berat, latihan keras, duduk atau mengendarai mobil terlalu lama.
Rasional : Peningkatan tekanan abdominal atau meregangkan dapat menempatkan stres pada kandung kemih dan prostat sehingga menimbulkan resiko perdarahan.
3) Dorong keseimbangan latihan perineal.
Rasional : Membantu kontrol urinaria dan menghilangkan inkontinensia.
4) Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik contoh eritema, drainase purulen dari luka, perubahan dari karakter/jumlah urine, adanya dorongan/frekuensi, perdarahan berat, demam menggigil.
Rasional : Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi serius. Urine tampak keruh beberapa minggu sampai penyembuhan pasca operasi dan tampak keruh setelah koitus karena ejakulasi retrograd.
Menurut Tucker (1998) muncul 8 diagnosa keperawatan, 2 diagnosa yang berbeda dari Doenges (2000) dan intervensinya adalah :
a) Potensial terhadap ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan anestesi .
Intervensi :
1) Bantu pasien dengan spirometer insentif untuk memaksimalkan ekspansi paru secara maksimum jika dianjurkan.
2) Ajarkan dan bantu pasien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam.
3) Kaji bunyi napas tiap 4 jam.
4) Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada dokter.
5) Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis.
6) Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas (kacau mental, gelisah, peka rangsang, penurunan PO2, peningkatan PCO2)
7) Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi rasa nyeri dan membantu pasien melakukan latihan batuk dan napas dalam secara efektif.
b) Potensial terhadap kelebihan cairan berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP)
Intervensi :
1) Pantau dan laporkan tanda dan gejala dilusi hiponatremia (rendahnya natrium serum, perubahan status mental, bingung, gelisah, kejang otot, kejang, mual, muntah sesak napas, peningkatan TD).
2) Pantau masukan dan haluaran tiap 4 sampai 8 jam.
3) Dengan cermat hitung irigasi yang dimasukkan dan jumlah yang kembali/keluar; laporkan penurunan aliran keluar.
4) Hentikan irigasi saat tanda pertama kelebihan cairan terjadi; beritahu dokter.
5) Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter untuk menghilangkan bekuan jika dipesankan.








DAFTAR PUSTAKA
Purnomo, Basuki B. 2000. Dasar – dasar urologi. Malang: CV Infomedika.

Long, Barbara C. 1996. Pendekatan Medikal Bedah 3, Suatu pendekatan proses keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran.

Sjamsuhidayat, R ( et al ). 1997. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.

Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.

Hardjowijoto, Sunaryo. 1999. Benign Prostat Hiperplasia. Surabaya: FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo.

Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah,volume 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 1998. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, edisi 2. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.

Santoso, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar