Senin, 16 November 2009

Angiodema

PENDAHULUAN

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit , lapisan mukosa dan submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna.(1,2)Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus dan pada angioedema bengkak merupakan manifestasi utama.(3)
Angioedema paling sering ditemukan pada bagian kepala dan leher, mencakup wajah, bibir, dasar mulut, lidah dan pangkal tenggorokan. Angioedema berat dapat menyebabkan obstruksi saluran napas dan kematian akibat edema laring. Angioedema disaluran gastrointestinal menyebabkan edema usus, gejalanya berupa nyeri kolik abdomen, mual , muntah dan diare.(1,3)

II. EPIDEMIOLOGI
Kira-kira 94 % kasus angioedema yang ditemukan sebagai kasus emergensi adalah akibat induksi obat. Sebagian besar angioedema akibat induksi obat ditemukan pada pasien yang menggunakan ACE-Inhibitor (0,1 – 0,2 %).(4)
Osler (tahun 1888) pertama kali mendiskripsikan hereditary angioedema (HAE) yang terjadi pada seorang wanita yang berusia 24 tahun, sehingga diusulkan suatu etiologi herediter dan dikenal sebagai edema angioneurotik herediter. (4)Insiden HAE terjadi 1 dalam 150-500 orang, sekitar 15000-30000 kunjungan emergensi/tahun. AAE lebih jarang terjadi yaitu kurang dari 50 kasus. Insiden angioedema akibat ACE-inhibitor yang telah dilaporkan 1-2 kasus per 1000 orang. Donaldson dan Evans (1963) menentukan bahwa kelainan herediter terjadi akibat kekurangan C1-inhibitor atau gangguan fungsi C1-inhibitor. HAE lebih sering terjadi pada usia remaja, sedangkan AAE biasanya terjadi setelah dekade keempat.(4)
Angioedema akibat reaksi alergi lebih banyak terjadi pada pasien-pasien atopi, rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi (Clin def imunology). Sebagian besar kasus angioedema bersifat idiopatik. Angioedema dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering terjadi pada usia 40-50 tahun. Wanita lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Tidak ada perbedaan insiden pada kelompok ras tertentu. (1,5)

III. KLASIFIKASI
Angioedema terdiri atas : (6,7)
1. Hereditary angioedema (HAE) = Hereditary angioneuretic edema (HANE)
- Hereditary angioedema tipe 1 (HAE tipe 1) : defisiensi C1 inhibitor , akibat mutasi gen SERPING 1.
- Hereditary angioedema tipe 2 (HAE tipe 2) : C1 dalam batas normal namun terjadi malfungsi C1 inhibitor.
- Hereditary angioedema tipe 3 (HAE tipe 3) : akibat mutasi gen F 12.
2. Acquired angioedema
Acquired angioedema tipe I, yang berkaitan dengan penyakit gangguan B-cell lymphoproliferative, neoplasma, penyakit jaringan konektif dan infeksi.
Acquired angioedema tipe II , disebabkan oleh autoantibodi C1-inhibitor.
Acute angioedema : reaksi alergi (obat , serangga , makanan), penggunaan kontras, serum sickness syndrome dan cold urticaria.
3. Angioedema – eosinophilia syndrome
4. Idiopatic angioedema

IV. ETIOPATOGENESIS
a. Hereditary angioedema
Hereditary angioedema adalah kelainan yang diturunkan secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen C1-inhibitor. (1,3) Hereditary angioedema tipe 1 (HAE tipe 1) disebabkan oleh mutasi gen sehingga terjadi supresi C1-inhibitor. Hereditary angioedema tipe 2 (HAE tipe 2) akibat mutasi gen sehingga menyebabkan sintesis protein C1-inhibitor yang abnormal.
C1-inhibitor merupakan bagian dari sistem komplemen (sekelompok protein yang terlibat dalam sistem kekebalan dan reaksi alergi). Gen C1-inhibitor terletak pada kromosom 11. Mutasi pada gen tersebut menyebabkan sistem komplemen tidak terkendali sehingga produksi C2 kinin meningkat dan terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dan edema.(8,11,12)
Kekurangan atau gangguan fungsi C1-inhibitor menyebabkan pembengkakan lokal di kulit dan jaringan di bawahnya atau pembengkakan pada selaput lendir yang melapisi bagian tubuh tertentu, misalnya mulut, tenggorokan dan saluran pencernaan.(16) Formasi bradikinin disebabkan oleh aktivasi terus menerus sistem komplemen akibat defisiensi C1 esterase dan produksi kalikrein.Bradikinin menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan hipotensi ketika disuntik melalui intravena.(6)
Beberapa faktor pencetus pelepasan peptida vasoaktif sehingga menyebabkan angioedema pada HAE yaitu trauma, stress mental dan fisik, infeksi, haid dan kehamilan.(6)
b. Acquired Angiedema
Acquired angioedema adalah penyakit yang jarang dan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu : AAE-I yang berkaitan dengan malignansi, penyakit jaringan konektif dan infeksi. Jumlah C1-inhibitor diproduksi normal ,namun katabolisme dari C1-inhibitor meningkat sehingga terjadi penurunan secara kuantitatif maupun fungsional. AAE-II merupakan suatu bentuk autoimun. (1,9)Pada pasien AAE II memiliki suatu autoantibodi C1-inhibitor. Autoantibodi tersebut menghambat kapasitas kerja dari C1-inhibitor sehingga terjadi angioedema.(1)

c. Acute Angioedema
Alergi tipe 1 yang berat dapat menyebabkan angioedema. Antibodi IgE berikatan dengan antigen (makanan, obat-obatan, sengatan serangga, tepung) pada permukaan sel mast sehingga terjadi pelepasan histamin dan mediator lain. Angioedema dapat terjadi tanpa atau disertai gangguan lain dari anafilaksis sistemik (distress pernapasan, hipotensi). Penggunaan kontras radiologi dan obat-obatan dapat menyebabkan angioedema akut melalui mekanisme non imunologik (langsung). Analgatik opiate, polimiksin B, D-tuboklidrarine menginduksi pelepasan histamin dari sel mast dan basofil.(3)
Obat yang dapat menginduksi angioedema meliputi obat anti inflamasi non steroid (OAINS), seperti aspirin,indometasi dan angiotensin converting enzim- inhibiting drugs(ACE- Inhibitor).(1) ACE- Inhibitor menghambat degradasi bradikinin. Bradikinin menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan vasodilatasi sehingga terjadi angioedema.(6)
Angioedema akibat reaksi intoleransi akibat penggunaan OAINS terjadi akibat shunting jalur siklo-oksigenase (COX) ke jalur lipo-oksigenase (LOX) akibat terhambatnya COX-1 oleh OAINS non selektif.(10,11)Hambatan tidak selektif terhadap COX dapat menekan fungsi maintenance COX-1 secara berlebihan, sehingga menghambat pembentukan prostaglandin-E2(PGE2) dan prostaglandin-I2 (PGI2).Hambatan PGE2 yang berfungsi sebagai penghambat jalur inflamasi alternatif lipo-oksigenase (LOX), akan meningkatkan produksi lekotrien -C4(LTC4), lekotrien-D4 (LTD4) dan lekotrien E-4 (LTE4) sehingga permeabilitas vaskuler meningkat dan terbentuk urtika dan angioedema. (10,11,12)

V. GEJALA KLINIS
a. Hereditary dan Acquired angioedema
Pasien dengan HAE atau AAE ditemukan dengan gejala yang sama. Tiga gejala klasik yaitu nyeri abdomen, edema perifer (pembengkakan ekstremitas) dan edema laring tanpa adanya urtikaria. Nyeri abdomen biasanya disertai dengan nausea, vomiting(88%) dan diare(22%). Angioedema berupa eritematous atau non eritematous,non pitting,non pruritik atau nyeri. Hasil pemeriksaan abdomen didapatkan peningkatan bising usus dan tidak ada tanda-tanda peritonitis. Angioedema terjadi dalam beberapa jam dan berkurang dalam 48-72 jam, tetapi bisa bertahan selama 1 minggu. Gejala lain berupa retensi urin, efusi pleura yang ditandai oleh batuk dan nyeri dada, dan gejala-gejala SSP (seperti sephalgia, hemiparesis, konvulsi) akibat edema serebral fokal.(1,3,5,6,13,14)

Angioedema terjadi pada tiga area utama: jaringan subkutan (wajah, tangan, lengan, kaki, genital), organ yang terdapat didalam abdomen (lambung, usus, ginjal) yang dapat menimbulkan keadaan emergensi dan pada saluran napas bagian atas yang dapat menyebabkan terjadinya edema laring yang dapat mengancam kehidupan.(1)
ACE-Inhibitor-Induced angioedema sebagian besar predileksinya terdapat pada wajah namun juga dapat ditemukan pada beberapa bagian tubuh lainnya. Pada beberapa kasus, ditemukan rash pada wajah. Reaksi yang berat dapat menyebabkan edema pada palatum mole, lidah dan laring.(4)
b. Angioedema-eosinophilia syndrom
Sindrom Angioedema-eosinophilia adalah kasus yang jarang ditemukan. Sindrom ini merupakan Benigna syndrom yang pengobatannya tidak seumur hidup yang gejalanya dapat berupa serangan angioedema yang terjadi secara periodik, urtikaria, pruritus, myalgia, oligouria dan demam. Selama serangan berat badan dapat meningkat sampai 18% dan leukosit dapat mencapai 108.000 /µl (88% terdiri atas komponen eosinofil). Eosinophilia dapat ditemukan pada beberapa serangan. Lama serangan angioedema kira-kira 6-10 hari.(1)
d. Idiopatic angioedema
Angioedema dapat terjadi pada semua usia namun sebagian besar ditemukan pada usia 40-50 tahun. Sebagian besar idiopatic angioedema ditemukan pada wanita. Idiopatic angioedema didiagnosa ketika angioedema timbul pada pasien, tidak terdapat urtikaria dan tidak ditemukan faktor eksogen yang mendasari terjadinya. Timbulnya penyakit pada idiopatic angioedema
tidak dapat diprediksikan. Perjalanan penyakit dapat terjadi selama 5 tahun atau lebih.(1,3)

VI. Pemeriksaan penunjang
a. Histopatologi
Edema terjadi pada lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutan. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan adanya dilatasi vena.(3)
b. Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, biasanya ditemukan penurunan komplemen faktor C4, defisiensi C1-Inhibitor . Pada pasien AAE, jumlah C1-inhibitor diproduksi normal ,namun katabolisme dari C1-inhibitor meningkat sehingga terjadi penurunan secara kuantitatif maupun fungsional dari C1-inhibitor. Pada pasien HAE, ditemukan produksi C2 kinin meningkat akibat mutasi gen C1- inhibitor. Pada Sindrom Angioedema-eosinophilia, leukosit dapat mencapai 108.000 /µl (88% terdiri atas komponen eosinofil).(1,3,6)

VII. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien dengan HAE atau AAE ditemukan dengan gejala yang sama. Tiga gejala klasik yaitu nyeri abdomen, edema perifer (pembengkakan ekstremitas) dan edema laring tanpa adanya urtikaria. Nyeri abdomen biasanya disertai dengan nausea, vomiting(88%) dan diare(22%). Angioedema berupa eritematous atau non eritematous,non pitting,non pruritic atau nyeri. Pada pemeriksaan laboratorium, pasien dengan HAE C4 menurun , C1- inhibitor secara kuantitatif menurun pada HAE tipe 1 namun normal pada HAE tipe 2 sedangkan secara fungsional C1-inhibitor ditemukan terjadi penurunan pada keduanya. C1q ditemukan normal pada HAE tipe 1 maupun tipe 2. Pada pasien AAE, baik tipe 1 maupun tipe 2 terjadi penurunan sistem komplemen C4, C1-inhibitor secara fungsional dan C1q. C1-inhibitor pada pasien AAE tipe 1 terjadi penurunan sedangkan pada AAE tipe 2 ditemukan normal atau cenderung menurun.(1)

VIII. PENATALAKSANAAN
Pada hereditary angioedema, yang dibutuhkan adalah bagaimana untuk mencegah terjadinya serangan dimasa yang akan datang. Pengobatan pada fase akut bertujuan untuk mencegah progresifitas dari edema , khususnya jika terjadi edema pada laring. Di negara Jerman, sebagian besar kasus akut diterapi dengan pemberian konsentrat C1-inhibitor yang diperoleh dari darah donor secara intravena. Pada kasus emergensi, diberikan fresh frozen blood plasma, yang juga mengandung C1-inhibitor dapat digunakan.(6)
Pengobatan terbaru digunakan ecallantide. Ecallantide merupakan suatu inhibitor peptida dari suatu kallikrein yang menunjukkan hasil yang positif pada ketiga tipe dari HAE. Icatibant merupakan bradykinin reseptor antagonis yang selektif, hanya digunakan di Eropa dan tidak digunakan di negara Amerika. Pharming, suatu perusahaan bioteknologi , menghasilkan suatu C1-inhibitor rekombinan untuk penanganan serangan akut hereditary angioedema.(6)
Pada acquired angioedema , AAE tipe I dan tipe II, dan angioedema nonhistaminergic, antifibrinolitik seperti asam traneksamat atau ε-aminocaproid acid diperkirakan effektif. Cinnarizine dapat digunakan karena dapat menekan aktivasi dari C4 dan dapat digunakan pada pasien yang menderita penyakit hati ketika androgen tidak dapat digunakan.(6) Standar pengobatan untuk AAE adalah juga meningkatnya level dari C1-inhibitor (konsentrat C1-inhibitor, androgen). Untuk serangan akut AAE, terapi utama adalah konsentrat C1-inhibitor (dosis yang direkomendasikan 500-2000 U IV). Namun, apabila konsentrat tidak tersedia, dapat digunakan Fresh Frozen Plasma (FFP) (2 U IV). Stanozolol (winstrol) merupakan androgen sintetik dengan immunosupressi, dosis yang dianjurkan 1-4 mg/hari. Danazol (Danocrin) bekerja dengan meningkatkan komponen komplemen C4 dan mengurangi gejala lain yang menyertai angioedema, dosis yang dianjurkan 50-600 mg/hari. Selain itu, untuk menghambat mediator cascade komplemen digunakan antifibrinolitik seperti asam traneksamat atau ε-aminocaproid acid (8 gr IV). Jika terjadi perubahan suara seperti stridor, dsb, merupakan indikasi intervensi jalan napas dengan sesegera mungkin. Intubasi orotracheal adalah metode pilihan. Edema laring merupakan kasus yang berat, pembedahan jalan napas harus dilakukan yaitu dengan melakukan cricothyrotomy atau tracheotomi.(4,6)
Vasopresor seperti epinefrin (0,3-0,5 ml IM/SC), kortikosteroid (methyl prednisone 125 mg IV), dan antihistamin merupakan second-line teraphy pada pasien dengan AAE, HAE dan angioedema akibat angiotensin converting enzim- inhibiting. Namun, pada kasus angioedema yang berkaitan dengan proses alergi, obat-obat tersebut adalah pilihan terapi utama.(4,6)
Pasien yang intoleransi terhadap obat-obat anti inflamasi non steroid (OAINS) harus menghindari pengguanaan obat-obat AINS yang bersifat non-selektif. COX-2 spesific inhibitor (COXIB), paracetamol atau nimesulide dapat digunakan sebagai alternatif pengganti untuk pasien-pasien yang membutuhkan OAINS.(13,14,15)
Pada pasien dengan idiopatic angioedema, pengobatan yang diberikan adalah antihistamin. Untuk supresi dalam jangka waktu yang lama digunakan kortikosteroid.(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Habif TP. Clinical Dermatology a color guide to diagnosis and therapy.4th ed . Philadelphia : Mosby ; 2004 . p.147-151.
2. Champion RH, Burton JL, Ebling F.J.G. Agioedema. Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. Oxford : Blackwell scientific Publications ; 1992.p.1870-1880.
3. Hawk JM, Ferguson J. Urticaria and Angioedema. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Ftzpatrick’s Dermatology in general medicine . New York : McGraw-Hill; 2008 .p 2059-70.
4. Reid Maurice, MD. Angioedema :Treatment & Medication.Emedicine Specialties, Allergy and Immunology.2008;793-6.
5. Doods NR. Angioedema. Emedicine Specialties Emergency Medicine Allergy and Immunology.2008;174-6.
6. Anonyma. Angioedema.Encyclopedia.2009;1088-94.
7. Cohen DE, Tehrani SB.Urticaria and Angioedema. In : Bolognia JL, et al, eds . Dermatology. London: Mosby ; 2003 . p. 287-295.
8. Picado C. Non-steroidal anti-inflammatory drug-induced urticaria and angioedema: more research on mechanisms needed. Clin Exp Allergy 2005;35:698-9.
9. Nettis E, Colanardi MC, Ferrannini A, Tursi A. Update on Sensitivity to Non-steroidal Anti inflammatory Drugs. Current Drug Targets-Immune, Endocrine & Metabolic Disorders 2001;1:233-40.
10. Vane SJ. Aspirin and other anti-inflammatory drugs. Thorax .2000; 553-9
11. Kaplan, AP. Chronik Urtikaria dan Angioedema. N Engl J Med Vol 346.2002;342-5.
12. Moschella SL, Hurley HJ. Urticaria and Angioedema.Dermatology.3thed. Philadelphia. Saunders; 1992,p.291-299.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar