Senin, 16 November 2009

Demam Tifoid

Demam tifoid (bahasa Inggris: typhoid fever) atau yang di masyarakat indonesia lebih dikenal dengan nama tifus, adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya yaitu Salmonella typhii. Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja. 1

EPIDEMIOLOGI:
Demam tifoid merupakan penyakit endermik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekwensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekwensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan terkait dengan sanitasi lingkungan; di rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Kemudian Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Tetapi dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT DEPKES RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi. 2


ETIOLOGI:
Demam tifoid merupakan infeksi septisemia yang disebabkan oleh Salmonella Typhi di mana infeksi ini merupakan masalah penting dalam morbiditas dan mortalitas di Indonesia. Selain itu, demam tifoid juga disebabkan oleh Salmonella Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B, dan Salmonella Paratyphi C. 3, 4

PATOGENESIS:
Pada anak-anak yang usianya muda, perubahan morfologik pada infeksi Salmonella Typhi adalah kurang prominen jika dibandingkan dengan anak-anak yang berusia remaja dan dewasa. Ulkus disertai perdarahan akan terjadi akibat dari hyperplasia Peyer patches yang disertai dengan nekrosis pada epithelium. Apabila hal ini terjadi proses inflamasi dan nekrosis pada mukosa dan jaringan limfatik pada traktus intestinal akan terjadi. Tetapi jika terjadi penyembuhan, ulkus tersebut menyembuh tanpa meninggalkan kesan sikiatrik. Lesi dari proses inflamasi ini jarang menyebabkan penetrasi ke muskularis dan serosa pada traktus intestinal. Lesi ini juga jarang menyebabkan perforasi pada traktus intestinal. Nodus limfa pada mesenterika, hepar, dan lien menjadi hiperemik dan biasanya muncul di tempat nekrosis fokal. Hiperplasia pada jaringan retikuloendotelia disertai dengan proliferasi pada sel mononuclear itu bisa dilihat pada sumsum tulang pada area yang disertai dengan nekrosis fokal. 4

MANIFESTASI KLINIS:
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat (38.8-40.5 derajat selsius). Sifat demam adalah meningkat perlahan-perlahan dan terutama sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah yang berseraput (lidah kotor), hepatomegali, splenomegali, meterioismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Gejala-gejala lain berupa tubuh menggigil, batuk, sakit tenggorokan. 2, 5

DIAGNOSIS:
Tes Widal untuk mengukur antibodi terhadap antigen O dan H pada Salmonella Typhi dapat dilakukan. Tetapi tes ini adalah kurang akurat di mana ia bisa memberi hasil positif-palsu dan negative-palsu. Hal ini justru dapat memberi suatu kesalahan mendiagnosa sebagai demam tifoid. Pemeriksaan “Gold Standard” untuk demam tifoid adalah kultur darah. Akurasinya bervariasi yaitu bisa setinggi 90% pada minggu pertama terkena infeksi demam tifoid dan menurun ke 50% pada minggu ketiga infeksi demam tifoid. 4, 5

PENATALAKSANAAN:
Untuk penatalaksanaan demam tifoid, obat-obat antibiotik diberikan sebagai terapi demam tifoid. Antibiotik-antibiotik seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciprofloxacin sering digunakan untuk merawat demam tifoid di negara-negara barat. Di Indonesia, deksametason dengan dosis tinggi dikombinasi dengan kloramfenikol untuk menurunkan kadar kematian atau mortalitas. Selain itu, dengan pemberian kloramfenikol resistensi terhadap demam tifoid itu rendah jika dibandingkan dengan pemberian fluoroquinilone. Lagi pula, obat kloramfenikol adalah jauh lebih murah jika dibandingkan dengan obat ciprofloxacin dan quinolon. Biarpun ada obat antibiotik-antibiotik yang lain, tetapi kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk terapi demam tifoid. 1, 6

KOMPLIKASI:
Komplikasi bisa terjadi jika demam tifoid tidak diterapi dengan baik. Antara komplikasi yang bisa terjadi adalah osteomielitis, DVT, perdarahan pada traktus intestinal atau perforasi usus, kolesistitis, miokarditis, pielonefritis, meningitis, dan abses. 7

PROGNOSIS:
Jika demam tifoid tidak ditangani, kadar kematian bisa mencapai kira-kira 10%. Jika demam tifoid ditangani, kadar kematian berkurang menjadi 0.1%. 7


DAFTAR PUSTAKA

1. Demam Tifoid. [cited] 2 December 2008 [online] 10 February 2009. Available from: http://id.Wikipedia.org/wiki/Demam_tifoid

2. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.1752-1757

3. Typhoid Fever A Continuing Health Challenge In Pediatrics. [cited] july 2000 [online] 15 February 2009. Available from: http://www.journal.unair.ac.id/detail_jurnal.php

4. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders; 2004. p.916-918

5. Harrison TR et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Philadelphia: McGrawHill; 2005. p.898-890

6. Dorn JV et al. Typhoid Fever. The New England Journal of Medicine.
[cited] 20 March 2003 [online] 10 February 2009. Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/348/12/1182

7. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK. Oxford Handbook of Clinical Medicine. 7th ed. United States: Oxford University Press; 2008. p.412

Tidak ada komentar:

Posting Komentar