Rabu, 16 Desember 2009

Artritis, Diet, dan Nutrisi

PENDAHULUAN
Apakah makanan yang harus dipantang untuk mengurangi atau adakah makanan yang dapat menyembuhkan gejala reumatik ?
Pertanyaan ini tidak hanya muncul di tempat praktek, tetapi sering pula muncul pada setiap kali simposium tentang penya¬kit reumatik. Hal ini menunjukkan bahwa baik pasien maupun dokter memerlukan informasi tambahan tentang hubungan antara makanan, diet dan nutrisi dengan penyakit reumatik.
Jutaan orang didunia menderita penyakit reumatik, yang biasanya kronik disertai gangguan fungsi, disabilitas dan handaya. Sering sekali penyakit reumatik ini sukar disembuh¬kan dan sebagian besar penyebab dari berbagai jenis penyakit reumatik ini tidak diketahui. Pasien dan keluarga bahkan sang dokter menjadi frustasi karena kadang-kadang sangat sukar untuk mengurangi gejala reumatik seperti nyeri dan bengkak sendi. Hal ini yang sering menyebabkan pasien mencari sendiri pengobatan alternatif, seperti gelang reumatik, akar tumbu¬han, rumput-rumputan dan berbagai jenis makanan. Apa yang disebut diatas dalam berbagai buku-ajar tentang penyakit reumatik disebut sebagai unproven remedies. Sebagai contoh di Amerika maka jutaan do0llar telah dibelanjakan oleh 90% penderita reumatik dari berbagai tingkat sosio ekonomi dan berbagai latar belakang pendidikan1. Di Indonesia angka ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi diyakini jumlahnya cukup besar.
Sejumlah pasien yakin bahwa apa yang diderita hari ini, mungkin sekali disebabkan oleh apa yang dimakannya kemarin. Secara logika maka pasien tersebut berpendapat dengan pantang makanan penyakitnya akan berkurang. Walaupun hal ini dirasakan oleh banyak penderita tetapi penelitian yang mendalam belum dilakukan.


KEMUNGKINAN HUBUNGAN ANTARA NUTRISI DAN PENYAKIT REUMATIK
Sebagaimana telah dikemukakan pada setiap kesempatan maka penyakit reumatik merupakan kumpulan dari kurang lebih 100 jenis penyakit yang sebenarnya berbeda tetapi sering memberikan gejala yang mirip dengan keluhan berupa nyeri dan bengkak sendi serta gangguan fungsi sendi. Karena kemiripan berbagai penyakit reumatik maka sering pasien dan bahkan para dokter menganggapnya sama. Di pihak lain perlu pula disadari bahwa spektrum dari makanan ataupun nutrien (zat gizi) yang dihubungkan dengan penyakit reumatik juga sangat luas. Hal ini sangat penting karena bila kita mencari hubungan antara makanan dan penyakit reumatik, sebaiknya ditentukan dahulu untuk jenis yang mana dan jangan disamaratakan untuk semua penyakit reumatik .
Dari berbagai literatur yang ada maka kemungkinan hubungan antara nutrisi dan penyakit reumatik dapat dibagi dalam 2 bagian besar2:
1. Antigen makanan mungkin mencetuskan respons hipersen¬sitifitas sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai gejala penyakit reumatik (alergi makanan)
2. Faktor-faktor nutrisi (nutrien) mungkin 0mempengaruhi respons imun atau respons inflamasi atau kedua-duanya, se-hingga dapat mengubah gejala penyakit reumatik.

Dugaan bahwa makanan dapat mencetuskan gejala penyakit reumatik didasarkan atas2:
1. Makanan dapat membangkitkan respons imun
2. Makanan dapat menyebabkan gejala terkait imunologik tak langsung.
3. Mekanisme imunologik termasuk hipersensitivitas cepat sangat penting dalam patogenesis penyakit reumatik
4. Antigen pencetus terjadinya penyakit reumatik tidak diketahui
5. Berbagai laporan tentang hubungan antara makanan dengan penyakit reumatik

ALERGI MAKANAN DAN PENYAKIT REUMATIK
1. Peranan Traktus Gastrointestinal
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa antigen makanan dapat menembus barrier (sekat) gastrointestinal dan beredar bebas dalam sirkulasi sebagai komples imun. Pada beberapa keadaan dengan mukosa traktus GI yang abnormal maka berbagai jenis bahan antigen makanan dalam jumlah besar akan menembus mukosa3. Defisiensi IgA selektif banyak dihubung¬kan dengan gangguan traktus GI dan penyakit imun. Antibodi terhadap susu sapi ditemukan pada penderita defisiensi IgA dan erat hubungannya dengan adanya kompleks imun yang beredar serta penyakit autoimun.
Traktus GI pada penderita artritis reumatoid diduga lebih mudah ditembus oleh antigen makanan, tetapi penelitian tentang hal ini tidak konsisten. Pada penderita Spondilitis Ankilosis didapatkan bahwa antigen intraluminal dapat merangsang transformasi leukosit dan produksi faktor penghambat leukosit. Pada penderita obesitas yang dilakukan operasi pintas jejunoileal akan terjadi artritis inflamasi disertai kompleks imun yang beredar yang mengandung antigen intraluminal.

2. Peranan Puasa
Didasarkan dugaan adanya pengaruh makanan pada artritis reumatoid, maka sebuah penelitian dilakukan pada 15 pasien RA yang berpuasa antara 7 sampai 10 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan pada 5 pasien inflamasi sendi berkurang, sebalik¬nya hanya pada 1 dari 10 kontrol yang merasa ada perbaikan.
Pasien yang berpuasa menunjukkan nyeri dan kaku sendi berku¬rang, kebutuhan obat berkurang, demikian pula ukuran bengkak sendi dan index Ritchie berkurang. Selanjutnya pasien diberi¬kan diet lakto-vegetarian, ternyata hasilnya tidak memuaskan4. Penelitian lain menunjukkan adanya efek antireumatik transient pada penderita RA yang berpuasa. Perbaikan yang didapatkan mungkin disebabkan oleh menurunnya permebialitas traktus GI, penurunan fungsi neutrofil, tertekannya respons mitogen limfosit dan meningkatnya kadar kortisol serum5.

2. Hubungan Alergi Makanan Dengan Beberapa
Jenis Reumatik
a. Rheumatism palindromik.
Gejala penyakit ini berupa serangan poliartritis akut yang diantara dua interval serangan penderita bebas gejala. Periode bebas gejala tersebut bervariasi diantara berhari-hari dan berbulan-bulan. Menyerang baik wanita maupun pria, terutama pada usia antara dekade 3 dan 6, diduga mempunyai hubungan familier. Gejala berupa bengkak, panas dan kemerahan pada sendi yang terserang, biasanya menyerang 2 sampai banyak sendi. Gejala ini akan menghilang dengan cepat antara 1 sampai 3 hari. Sendi yang paling sering terserang ialah lutut, pergelangan tangan dan bahu, jari tangan dan tumit6. Makanan yang berhubungan dengan keadaan ini sangat berva¬riasi, antara lain jagung, gandum, susu, daging babi, telur, daging sapi, kopi, keju, tomat, anggur, kacang, daging kambing, mentega dan sebagainya. Semuanya berupa laporan dan belum dilakukan penelitian yang lebih mendalam7.

b. Lupus eritematosus sistemik
Makanan yang dilaporkan ialah biji alfalfa dan taoge, baik pada manusia maupun primata. Pada primata ditemukan adanya anemia hemolitik autoimum, kadar komplemen rendah, ANA positif, anti-DNA, sel LE positif, deposit imunoglobulin dan komplemen di kulit. Gejala yang timbul dihubungkan dengan L-canavanine, komponen alfalfa yang berupa asam amino non pro¬tein. Antibodi terhadap biji alfalfa bereaksi-silang dengan DNA dan mungkin mengaktifkan limfosit B8.

c. Artritis reumatoid
Makanan yang dilaporkan memperberat ialah olahan susu, jagung, daging sapi, gandum. Penelitian lain melaporkan pula bahwa debu rumah, merokok dan bahan petrokimia dapat memperberat gejala artritis reumatoid. Pada penderita tersebut ditemukan pula kompleks imun yang beredar yang mengandung IgE, IgG anti IgE. Sayang sekali semua laporan tersebut tidak menggunakan kontrol lengkap sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa makanan tertentu akan menyebabkan eksaserbasi artritis2.
Penelitian oleh Panush dkk, menunjukkan bahwa kelompok penderita artritis reumatoid aktif, kronik, progresif yang diberi diet tertentu (tanpa daging segar, buah, olahan susu, jamu, bumbu, aditif dan alkohol) ternyata hasilnya tidak berbe¬da dengan plasebo, walaupun ada beberapa pasien yang menun¬jukkan adanya perbaikan bila menggunakan diet tersebut9.
Pada seorang penderita yang diketahui gejala artritis kambuh bila menggunakan olahan susu, setelah dilakukan penelitian ternyata menderita hipersensitif imunologik terha¬dap susu yang co-existed dengan artritis reumatoid. Hal ini menunjukkan sukarnya melakukan penelitian dengan sempurna karena luasnya spektrum dari makanan maupun dari penyakit reumatiknya sendiri.

d. Vaskulitis2
Vaskulitis alergik hanya merupakan sebagian kecil saja dari semua penderita sindroma vaskulitis. Laporan dalam majalah utama sangat sedikit. Oslser (1914) yang pertama kali melaporkan adanya hipersensitivitas protein pada pasien dengan purpura. Pada tahun 1929 dilaporkan bahwa pencegahan terhadap sejumlah makanan akan memperbaiki gejala dari He¬noch-Schonlein purpura dan pemberian kembali akan memperberat penyakit tersebut. Ackroyd (1953) melaporkan 23 pasien dengan purpura alergik yang disebabkan oleh telur, susu, coklat, gan¬dum, buncis dan ikan. Vaskulitis alergik oleh makanan sangat jarang dijumpai. Mekanisme imunologik yang mendasarinya ialah kompleks imun pada reaksi seperti fenomena Arthus, reaksi berperantara IgE mungkin menyebabkan peningkatan permeabilitis vaskuler dan meningkatkan deposit kompleks imun.

FAKTOR NUTRISI YANG BERPERAN PADA RESPONS IMUN/INFLAMASI
1. Vitamin dan Mineral
Asam ascorbat (vitamin-C) mempunyai efek meningkatkan imunitas (immunoenhancing). Pada pasien RA ditemukan kadar vitamin-C yang rendah dalam darah dan cairan sendi, tetapi belum ada bukti klinis efek terapeutik dari Vitamin-C pada RA10.
Gelang tembaga telah digunakan sejak zaman Yunani kuno sebagai penghilang rasa pegal dan nyeri. Garam tembaga digu¬nakan sebagai obat pada belakangan ini seiring dengan berkem¬bangnya terapi garam emas pada RA. Suatu uji klinik terbuka pada penderita RA yang menggunakan garam tembaga menunjukkan hasil yang cukup baik tetapi efek sampingnya sangat besar. Tembaga pada gelang diserap melalui kulit, penderita artritis yang menggunakan gelang ini secara subjektif merasakan per¬baikan dibandingkan dengan mengunakan gelang alumunium sebagai placebo) dengan bentuk yang sama. Walupun secara teoritis hal in menarik tetapi garam tembaga belum mempunyai tempat dalam pengobatan penyakit reumatik10. Seng (Zinc) diberikan per-oral pada penderita RA dengan alasan :
1. Pada penelitian ditemukan kadar seng serum yang rendah pada penderita RA
2. D-penisilamin meningkatkan ab¬sorpsi seng dalam usus
3. Seng meningkatkan penyembuhan luka dan ulkus
4. Secara in-vitro maka seng mempunyai efek anti inflamasi
5. Seng dibutuhkan untuk memelihara sejumlah respons imun seluler
6. Mencit atau sapi dengan defisiensi seng mengalami gangguan pada respons imun seluler
7. Sejumlah anak yang mengalami defisiensi imun ternyata juga mengalami defisiensi seng dan repons imun membaik dengan pemberian seng
8. Perbaikan dalam respons imun seluler ditemukan pada usia lanjut yang diberikan seng sulfat. Tetapi berbagai penelitian yang menggunakan seng dalam pengobatan RA hanya mendapatkan hasil perbaikan yang minimal10.

L-histidin yang banyak ditemukan di toko makanan keseha¬tan telah dicoba untuk mengobati penderita RA, yang hasilnya ternyata sangat minimal. Alasan penggunaan histidin ini karena kadar histidin serum yang rendah pada pasien RA, sedangkan asam amino lainnya normal. Histidine-sistin-tembaga secara in-vitro menginduksi agregrasi dari IgG manusia. Suatu penelitian uji klinik randomized, plasebo-kontrol mendapatkan sedikit perbaikan pada penderita RA yang berusia lebih dari 45 tahun yang penyakitnya kronik dan aktif10.

2. Respons Inflamasi dan Penyakit Reumatik
Eicosanoid yang merupakan asal dari asam arakhidonat yang kemudian membentuk prostaglandin dan leukotrien merupa¬kan mediator inflamasi yang penting. Mengubah diet secara kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated fatty acids) dapat mempengaruhi sintesis endogen dari eicosanoid. Hal ini yang mendorong munculnya hipotesis yang menyatakan bahwa modulasi dengan diet yang mengandung asam lemak tidak jenuh dapat mempenga¬ruhi respons pejamu penderita penyakit reumatik. Ikan air dingin mengandung asam lemak tidak jenuh omega-3 seperti asam eicosapentaenoik dihidrat (EPA, 20:5) dan asam dacosahexaenoik (DHA, 22:6). Asam lemak ini di dalam sel dapat menekan produksi leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor yang disintesis dari asam arakhidonat. Lebih lanjut lagi EPA dan DHA dimetabolisir menjadi analog eicosanoid yang mempunyai ekstra ikatan ganda, yang mempunyai aktifitas biologik lebih rendah dari yang diproduksi asam arakhidonat11.
Penelitian terbaru menunjukkan pula bahwa asam lemak tidak jenuh nabati (dari tumbuhan) mempunyai efek yang sama dalam mempengaruhi metabolisme asam arakhidonat. Asam lemak tidak jenuh tersebut ialah omega-6, 18:2 dari asam linoleat dan omega-3, 18:3 dari asam linolenat. Asam lemak tersebut di-temukan dalam biji tumbuhan seperti evening primrose oil12.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa restriksi semua lemak dan hanya menggunakan lemak yang berasal dari binatang air yang kaya akan EPA (Fish Oil) akan menghasilkan hal sebagai berikut13:
1. Menekan manifestasi lupus eritematosus dan memperpanjang kehidupan lupus mouse strain
2. Memperbaiki fungsi ginjal tetapi meningkatkan vaskulitis pada strain mencit lainnya
3. Mengurangi frekuensi amiloidosis sekunder pada murine
4. Mengurangi frekuensi, beratnya penyakit dan menghambat onset dari collagen-induced arthritis pada mencit .
5. Meningkatkan frekuensi dari artritis terinduksi kolagen pada tikus.
6. Asam lemak tidak jenuh nabati (diet kaya akan asam linolenat) pada hewan percobaan juga mempunyai efek antiin¬flamasi .

Pada manusia diet kaya akan EPA dan DHA selama beberapa minggu atau bulan akan mengurangi respons seluler dan mengham¬bat produksi metabolit asam lemak dalam sel.
Apakah Fish Oil atau asam lemak nabati dapat digunakan dalam terapi penyakit reumatik belumlah jelas. Hal ini dise¬babkan belum jelasnya komponen mana dari fish oil yang paling efektif, berapa dosis yang harus diberikan, kualitas asam lemak yang bagaimana, berapa lama jangka waktu terapi, pada penyakit reumatik yang mana, dan efek apalagi yang dapat ditimbulkan selain efek antireumatik.
Beberapa uji klinik terkontrol penggunaan fish oil pada artritis reumatoid menghasilkan hal sebagai berikut2
1. 1,8 gram EPA dan 0,9 gram DHA perhari dapat mengurangi kaku sendi dan jumlah sendi yang nyeri pada 17 penderita RA
2. 2,8 gram EPA dan 1,8 gram DHA perhari dapat mengurangi keletihan dan jumlah sendi yang nyeri pada 33 penderita RA
3. Perbaikan yang nyata pada 21 dari 45 pengukuran pada 49 pasien RA yang diberikan EPA (2,7 sampai 5,4 gram perhari), didapatkan pula adanya keterkaitan dosis
4. 3,2 gram EPA dan 2,0 gram DHA perhari dapat mengurangi jumlah sendi yang nyeri dan memperbaiki kuat genggam tangan pada 44 pasien RA.
5. EPA ternyata tidak memberikan perbaikan pada pasien SLE.

KESIMPULAN
Artritis reumatoid dan penyakit reumatik sistemik lainnya masih merupakan penyakit yang tidak diketahui penyebab, sehingga sering pengobatan tidak adekuat, hal ini yang sering menyebabkan penderita mencari terapi alternatif. Bukti yang ada menujukkan bahwa reaksi alergi makanan terjadi pada sejumlah kecil pasien penyakit reumatik, untuk hal ini masih diperlukan penelitian lebih lanjut 4 %. Diet yang mengandung beberapa nutrien tertentu mungkin dapat mengurangi inflamasi tetapi masih diperlukan penelitian lagi untuk menentukan pasien jenis apa, berapa dosis dan berapa lama karena penelitian yang ada belum memuaskan. Terapi nutrisi pada penyakit reumatik masih bersifat eksperimental. Sambil menunggu tersedianya data yang benar penderita dianjurkan untuk makan diet yang sehat dan seim¬bang. Berhati-hatilah apa bila ada klaim tentang makanan ajaib (miracle) dan cegahlah mengikuti mode diet yang aneh14.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panush, RS. Preface. Rheum.Dis.Clin.North Am., 17: xiixiv, 1991
2. Panush, RS: Arthritis, Food Allergy, Diets and Nutrition. In: McCarthy DJ and Koopman WJ ed. Arthritis and Allied Condi¬tion. Lea & Febiger. Philladelphia. London. 1993. pp.1139-1144
3. Cunningham-Bundles C. Dietary Antigen and Immunologic Disease in Humans. Rheum.Dis.Clin. North Am., 17:287-308,1991
4. Skoldstam L, Magnusson KE. Fasting, Intestinal Permeability and Rheumatoid Arthritis, Rheum.Dis. Clin. North Am.,17:373-372, 1991
5. Palmbald J, Hafstrom I, Ringertz B. Antirheumatic Effects of Fasting. Rheum.Dis.Clin.North Am., 17:351-362, 1991
6. Pinals RS. Periodic Syndromes. In : Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ. Primer on the Rheumatic Diseases. Tenth edition. Atrhritis foundation. Atlanta. 1993.pp.209-209
7. Darlington LG. Dietary therapy for Arthritis. Rheum.Dis. Clin. North Am., 17:273-285,1991
8. Montanaro A, Bardana EJ Jr. Dietary Amino Acid-Induced Systemic Lupus Erythematosus. Rheum. Dis. Clin. North Am., 17:323-332,1991
9. Panush RS, Carter RI, Katz P, et al. Diet therapy for rheuma¬toid arthritis.Arthritis Rheuma, 26:462-471,1983
10. Panush, RS : Arthritis, Food Allergy, Diets and Nutrition. In: McCarthy DJ ed. Arthritis and Allied Condition. Lea & Febiger. Philladelphia. London. 1988. pp.1010-1015
11. Sperling RI: Dietary Omega-3 Fatty Acids: Effects on Lipid Mediators of Inflammation and Rheumatoid Arthritis. Rheum.Dis.Clin.North Am.,17:373-389, 1991
12. Callegari PE, Zurier RB. Botanical Lipids : Role in Modula¬tion of Immunologic Responses and Inflammatory Reactions. Rheum.Dis. Clin. North Am.,17:415-426,1991
13. Kremer JM. Clinical Studies of Omega-3 Fatty Acid Supple¬mentation in Patients who have Rheumatoid Arthritis. Rheum.Dis. Clin. North Am.,17:391-402,1991
14. Panush, RS: American College of Rheumatology position statement on diet and arthritis. Rheum.Dis.Cli. North Am., 17:443-444,1991















ABSTRAK
Artritis reumatoid dan penyakit reumatik sistemik lain¬nya masih merupakan penyakit yang tidak diketahui penyebab-nya, sehingga sering pengobatan tidak adekuat, hal ini yang sering menyebabkan penderita mencari terapi alternatif antara lain dengan menggunakan makanan tertentu. Kemungkinan hubungan antara nutrisi dan penyakit reuma¬tik diduga melalui dua cara .
Pertama, antigen makanan mungkin mencetuskan respons hipersensitifitas sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai gejala penyakit reumatik (alergi makanan). Kedua, nutrien mungkin mempengaruhi respons imun atau respons inflamasi atau kedua-duanya, sehingga dapat mengubah gejala penyakit reumatik.
Penyakit reumatik yang sering dihubungkan dengan alergi makanan antara lain reumatisme palindromik, lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid dan vaskulitis. Hubungan alergi makanan dengan keadaan tersebut diduga atas dasar 1.traktus GI pada penderita artritis reumatoid lebih mudah ditembus oleh antigen makanan,dan 2.pada pasien artritis reumatoid yang berpuasa keluhan nyeri dan kaku sendi berkurang, kebutuhan obat berkurang, demikian pula ukuran bengkak sendi dan index Ritchie berkurang. Nutrien yang berperan pada respons imun/inflamasi antara lain vitamin C, tembaga, seng, l-histidin, asam lemak tidak jenuh omega-3 seperti asam eicosapentaenoik dihidrat (EPA,20:5) dan asam dacosahexaenoik (DHA,22:6) yang berasal dari ikan air dingin dan omega-6,18:2 dari asam linoleat dan omega-3,18:3 dari asam linolenat yang berasal dari biji tumbuhan seperti evening primrose oil. Diet yang mengandung beberapa nutrien tertentu mungkin dapat mengurangi inflamasi tetapi masih diperlukan penelitian lagi untuk menentukan pasien jenis apa, berapa dosis dan berapa lama penggunaannya, karena penelitian yang ada belum memuaskan.
Sambil menunggu tersedianya data yang benar, penderita dianjurkan untuk makan diet yang sehat dan seimbang. Berhati-hatilah apa bila ada klaim tentang makanan ajaib (miracle) dan cegahlah mengikuti mode diet yang aneh.

KATA KUNCI: Artritis, Makanan, Alergi, Diet, Nutrisi

ABSTRACT
The etiology of rheumatoid arthritis and most other form of inflammatory joint disease remains unknown. The treatment of this diseases often are not adequate and the patients look for another alternative therapy include diet and food.
A relationship between nutrition and rheumatic disease could occur through two possible mechanism. First, food antigen might provoke hypersensitivity responses leading to such symptoms. Second, nutritional factors might alter immune or inflammatory response or both, thus modifying rheumatic symptomps.
Rheumatic diseases which might have relationship with food allergy were palindromic rheumatism, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus and vasculitis. The possible mechanism are: 1.The gastrointestinal tract in patients who have rheumatoid arthritis may be more penetrable to food antigen than in normal person, and, 2.Rheumatoid Arthritis patients who were fasting showed lessened pain and stiffness, lower medication requirement, a lower Ritchie index and smaller finger size. Nutritional factors which might alter immune or inflamma¬tory response are vitamin C, copper, Zinc, l-histidine, Polyunsa¬trated fatty acids omega-3 such as eicosapentaenoic dihydrateacid (EPA, 20:5) and dacosahexaenoic acid (DHA,22:6) from cold-water-fish, omega-6, 18:2 linoleic acid and omega-3,18:3 linolenicacid from botanical lipids such as evening primrose. Diet of certain nutrional contents may alter inflammation. Studies are still needed to better define which patients, if any, benefit, and by how much. Until more data are available, patients should continue to follow balanced and healthy diets, be skeptical of miraculous claims, and avoid elimination diets and fad nutrional prac¬tices.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar