Rabu, 16 Desember 2009

Manfaat Glukosamin dan Khondroitin Sulfate untuk Terapi Osteoartritis

Manfaat Glukosamin dan Khondroitin Sulfate untuk Terapi Osteoartritis

Osteoartritis (OA) adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan menipisnya kartilago secara progresif, disertai dengan pembentukan tulang baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya kartilago serta tulang baru pada tepi sendi (osteofit). Proses OA secara histopatologis ditandai dengan menipisnya kartilago disertai pertumbuhan dan remodelling tulang diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang disekitarnya.
Penyakit radang sendi ini mulai dikenal pada akhir abad 19 dan pada waktu itu dipandang sebagai akibat dari suatu proses aus karena dipakai selama hidup (wear and tears). Menjelang akhir abad 20, penyakit kelainan sendi ini adalah penyebab utama gangguan muskuloskeletal di seluruh dunia dan dianggap sebagai penyebab kecacatan yang kedua di Amerika serikat setelah penyakit jantung iskemik.
Di Amerika Serikat dan Eropa hampir semua orang mengalami degenerasi sendi setelah usia 40 tahun. Gambaran radiologis OA di Amerika Serikat ditemui pada populasi dewasa sekitar 37% dan merupakan 80% dari populasi diatas 75 tahun. Jumlah penderita OA pertahunnya mencapai 16 juta orang. Data di Inggris menunjukkan 52% orang dewasa mempunyai gambaran radiologis OA dan meningkat menjadi 85% setelah 55 tahun. Wanita 2 kali lebih banyak menderita OA dibanding pria, terutama OA sendi lutut pada umur kurang dari 50 tahun, lebih dari 50 tahun perbandingannya hampir sama. Data di Indonesia didapat dari Malang dimana prevalensinya sekitar 10 – 13,5%, sedang di pedesaan Jawa Tengah prevalensi OA klinis sekitar 5,1%. Di rumah sakit data kunjungan ke poliklinik Reumatologi, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan 43.8% (1991-1994) – 35.6% (2000) adalah penderita OA.
Perbedaan variasi pekerjaan dan gaya hidup masing-masing ras mempengaruhi OA secara anatomis, misalnya ras di Cina tenggara lebih banyak menderita OA pinggang dibanding orang Inggris yang sama-sama tinggal di Hongkong. Osteoartritis sendi lutut jarang pada ras mongoloid, begitu pula OA sendi jari tangan jarang pada ras Afro-karibian. Para pakar yang meneliti penyakit ini sekitar tahun 1989 berpendapat bahwa OA dapat dipandang sebagai penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan yang penyebabnya belum jelas diketahui. Jejas mekanis dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi yang menyebabkan terjadinya inflamasi sendi, kerusakan khondrosit dan nyeri pada sendi .
Permasalahan terapi OA sekarang adalah tidak sekedar memberi terapi pada nyeri dan kekakuan sendi saja, namun bagaimana mengurangi efek samping obat dan memperbaiki keseimbangan enzim autolitik seluler didalam struktur kartilago yang terganggu akibat jejas mekanis dan kimiawi yang terjadi. Penelitian farmakologi untuk OA yang banyak dilakukan sekarang adalah bagaimana menemukan obat baru yang menghambat enzim autolitik seluler produk lisosom seperti prokolagenase, agrekanase, metaloproteinase, stromielisin dan kolagenase yang berpengaruh pada degradasi atau supresi komponen matriks ekstraseluler (proteoglikan, hyaluronan dan kolagen) serta usaha untuk menghambat sitokin, yaitu suatu senyawa kimia yang mengaktivasi enzim-enzim tersebut.


Patogenesis Osteoartritis

Rawan sendi mengandung 70% air dan sisanya berupa jaringan kolagen (Kolagen tipe II) dan proteoglikan. Proteoglikan sendiri terdiri dari glikosaminoglikans (mukopolisakharida) yang berikatan dengan inti protein yang linear membentuk struktur seperti sikat botol. Proteoglikan yang menyusun rawan sendi terdiri dari glikosaminoglikans Khondroitin Sulfate-4 (KS-4) dan 6 (KS-6) serta keratan sulfat. Khondroitin Sulfate-6 (KS-6) ini terdistribusi terutama pada lapisan permukaan rawan sendi, sedangkan KS-4 lebih berperan pada kalsifikasi. Jumlah glikosaminoglikan pada sendi penyangga berat tubuh ternyata lebih tinggi dibandingkan sendi lainnya. Demikian pula kadar KS jauh lebih tinggi dibandingkan sendi yang bukan penyangga berat tubuh. Distribusi Glukosamin Sulfat (GS) dan Khondroitin Sulfat (KS) serta Asam Hialuronat (AH) berbeda pada setiap lapisan rawan sendi. Keratan sulfate kadarnya lebih tinggi pada lapisan dalam rawan sendi, sedangkan KS dan AH kadarnya berkurang seiring dengan semakin dalamnya lapisan rawan sendi itu. Di dalam matriks ekstra selular tersebut salah satu ujung proteoglikans ini akan berikatan dengan asam hialuronat dan membentuk struktur yang disebut agregat proteoglikan (aggrecan). Glikosaminoglikans bermuatan negatif sehingga satu dengan lainnya akan saling menolak dan bersifat hidrofilik. Inilah mengapa matriks memiliki kandungan air yang sangat besar. Proses absorbsi air ini atau pengembangan dari agregat tersebut dibatasi oleh adanya ikatan proteoglikan dengan kolagen dan jaringan kolagen yang membentuk struktur khusus yang akan membatasi imbibisi cairan yang berlebihan sehingga struktur fisik kurang lebih sama.
Rawan sendi bersifat avaskular, aneural dan alimfatik dan nutrisi serta metabolit khondrosit harus berdifusi ke dalam ruang sendi atau terhadap pembuluh darah pada daerah subkhondral atau pada sinovial lining. Masuk (nutrien) dan keluarnya (metabolit) cairan sendi ke dalam matriks diperankan oleh gaya tekanan terhadap rawan sendi. Struktur molekular matriks yang demikian itu menentukan kelangsungan hidup dari khondrosit. Berbagai fragmen molekuler yang dihasilkan dari degradasi matriks rawan sendi atau dilepaskan dari jaringan sinovium, tulang ke dalam cairan sendi akan dibersihkan melalui aliran ke dalam matriks sinovium melalui intersitial pathway ke saluran limfatik. Beberapa fragment akan dieliminasi atau didegradasi lebih lanjut pada kelenjar limfe regional. Sebagian besar produk dari matriks arawn sendi akan dimetabolisme dan dihancurkan lagi di hati, sedangkan beberapa tipe fragmen spesifik seperti kolagen cross-link tidak dimetabolisme lebih lanjut namun dikeluarkan melalui urin.
Jadi sifat fisik dan mekanik kartilago tergantung kepada integritas kerangka kolagen, sintesis dan retensi tingginya proteoglikan di dalam kerangka kolagen tersebut (Dingle, 1991; Pooled, 1993 cit Isbagio, 1998)
Para ahli yang meneliti penyakit ini sekarang sepakat bahwa OA merupakan penyakit gangguan homeostasis metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya diperkirakan multifaktorial antara lain oleh karena faktor umur, stres mekanis atau khemis, penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik, humoral dan faktor kebudayaan (Moskowitz, 1990). Jejas mekanis dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan khondrosit dan rasa nyeri (Ghosh, 1990: Pelletier, 1993).
Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme kartilago. Kelebihan produk hasil degradasi matriks kartilago ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi kartilago serta mengawali suatu respon imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Pelletier, 1990). Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan matriks kartilago pada penderita OA kenyataannya lebih rendah dibanding normal yaitu 0,29 dibanding 1 (Dingle, 1991).
Pada kartilago penderita OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut (Ghosh, 1992). Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah Interleukin-1 (IL-1), IL-6, TNF  dan , dan interferon (IFN)  dan  (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1993; Dingle, 1991). Khondrosit penderita OA mempunyai reseptor IL-1 2 kali lipat lebih banyak dibanding individu normal (Pelletier, 1990) dan khondrosit sendiri dapat memproduksi IL-1 secara lokal (Dingle, 1991). Faktor pertumbuhan (IGF) dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks kartilago, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF-1 penderita OA lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990).
Jadi proses utama untuk dikatakan sebagai OA adalah kegagalan matriks yang merupakan hasil proses yang sangat kompleks dan faktor yang berperan cukup banyak terutama adanya faktor anabolik serta katabolik. Proses katabolisme yang terutama diperantarai oleh berbagai mediator seperti sitokin terutama interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNF-) dan enzim perusak a.l metalloproteinase (MMPs) berjalan lebih cepat sehingga sintesis matriks rawan sendi tidak mampu mengimbangi kecepatan kerusakan yang diakibatkan faktor katabolik tadi. Salah satu faktor antagonis katabolisme rawan sendi adalah AH, Insulin-like growth factor-1 (IGF-1), tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP) serta berbagai sitokin lainnya seperti IL-6. Insulin-like growth factor-1 menstimulasi tidak hanya elongasi KS namun juga sinteis KS dan oligosacharides lain. Pada penderita OA yang kebanyakan lansia, IGF-1 akan menurun sehingga sintesis proteoglikans juga akan menurun.
Proses kerusakan rawan sendi melalui dua jalur (pathway) yaitu jalur intrinsik dimana khondrosit itu sendiri yang merusak matrik ekstra selular (extra cellular matrix/ECM) dan jalur ekstrinsik yang diperankan oleh sel lain selain khondrosit seperti terjadinya jaringan pannus, keradangan sinovium, infiltrasi sel inflamatorik yang akan merusak ECM terutama melalui cairan sinovium. Pada dasarnya kedua jalur tersebut akan melibatkan proses aktivasi enzimatik.


Terapi Osteoartritis

Tujuan terapi OA pada awalnya adalah menghilangkan nyeri, kekakuan sendi dan mengurangi inflamasi. Program terapi yang dikembangkan adalah pemberian OAINS dan terapi non medikamentosa. Pada perkembangan selanjutnya ternyata tidak cukup dengan program terapi seperti diatas. Proses kerusakan sendi terus berlangsung secara progresif dan efek samping dari obat nyeri sendi ternyata fatal, sehingga berkembanglah penelitian untuk menemukan obat OA yang ideal.
Pada awal tahun 1980 terjadi krisis kepercayaan terhadap obat-obatan nyeri sendi termasuk OAINS, karena banyaknya kematian akibat efek samping yang ditimbulkan terutama karena perdarahan pada saluran cerna. Antasida ternyata tidak cukup melindungi pasien dari tukak lambung akibat OAINS. Pada dosis standard, Ranitidin dan H2 antagonis dapat melindungi pasien dari ulkus duodenum, namun tidak begitu baik pada ulkus peptikum. Famotidin pada dosis yang tinggi, baik untuk melindungi pasien dari ulkus peptikum maupun duodenum akibat OAINS. Obat yang sampai sekarang diketahui paling baik untuk melindungi pasien dari ulkus saluran cerna akibat OAINS adalah Misoprostol, sayangnya bila dilakukan perhitungan secara ekonomis obat ini ada kelemahannya yaitu harganya mahal (Silverstein et al., 1995; Taha et al., 1996; Gotlleb, 1998).
Penelitian-penelitian lanjutan untuk menemukan obat yang efek sampingnya rendah ternyata menimbulkan kontroversi, karena efek obat nyeri sendi terhadap sinovia diketahui dapat bersifat khondroprotektif dan khondro degeneratif. Efek obat-obatan tersebut ternyata tidak terlepas dari peran pokok IL-1 pada patogenesis OA (Gotlleb, 1998). Indometasin ternyata meningkatkan aktivitas IL-1 sebanyak 7 kali lipat karena penekanan terhadap prostaglandin (Dingle, 1991). OAINS lain yang ternyata toksik terhadap kartilago selain indometasin adalah naproksen, aspirin dan ibuprofen (Palmoski & Brandt, 1983; Pelletier, 1990). OAINS yang bersifat kondronetral adalah asam tiaprofenat, diklofenak dan piroksikam. Asam tiaprofenat dan piroksikam dikatakan mungkin bersifat khondroprotektif karena men¬stimulir sistesis prostaglandin tipe 1 dan 3 yang efeknya dilatasi pembuluh darah, menghilangkan penjendalan darah dan mempunyai manfaat anti inflamasi sehingga dapat menghambat progresifitas degradasi kartilago (Pelletier, 1990).
Pada tahun 1971 Sir John Vane mengklarifikasi mekanisme OAINS. Peneliti ini mengatakan bahwa aksi dari OAINS adalah menghambat biosintesa prostaglandin pada jalur enzim siklooksigenase. Prostaglandin sendiri dihasilkan akibat respon oleh adanya trauma pada jaringan. Ketika konsep ini baru saja diterima ternyata mekanisme peradangan terjadi lebih kompleks dan melibatkan jalur lain selain prostaglandin, yaitu prostasiklin dan tromboksan. Pada kenyataannya prostaglandin selain berefek fisiologis pada sistem renal dan gastrointestinal, juga potensial patologis sebagai mediator sel radang. Pada tahun 1990, Needleman mendemonstrasikan induksi dari COX oleh endotoxin dan ternyata peningkatannya dicegah oleh glukokortikoid dalam hal ini digunakan deksametason. Penelitian ini membuktikan bahwa deksametason tidak mempengaruhi formasi dasar prostaglandin (Gotlleb, 1998).
Meade et al., menemukan bahwa indometasin dan piroksikam lebih menghambat COX-1, sedang diklofenak, ibuprofen, nabumetone dan metabolitnya 6-methoxy 2 naphthylacetic acid (6-MNA) lebih aktif menghambat COX-2. Teori ini berkembang menjadi konsep rasio COX-2/COX-1 yang dipakai untuk menentukan selektivitas OAINS apakah tergolong selektif COX-1 atau selektif COX-2. Diklofenak ternyata juga selektif menghambat COX-2. Pada dosis 0,01 uM diklofenak dapat menghambat aktivitas enzim COX-2. Rasio COX-2/COX-1 diklofenak atau rasio IC50 diklofenak = 0,05 artinya diklofenak 20 kali lebih selektif terhadap COX-2 dibanding COX-1 (Widodo, 1999).


Konsep Obat Baru pada Osteoartritis

Konsep obat baru pada OA idealnya adalah: a). Meningkatkan aktivitas biosintesis makro molekuler kondrosit (proteoglikan, kolagen dan DNA); b). Mengurangi keradangan sinovial dan menghambat produksi sitokin dan radikal bebas;c). Meningkatkan biosintesis sinoviosit dari hyaluronan cairan sinovial; d). Menghambat enzim atau mediator yang berpengaruh pada degradasi atau supresi komponen matriks ekstraseluler (proteoglikan, hyaluronan dan kolagen dan e). Menghilangkan klot deposit lipid/kolesterol pada vaskuler subchondrial dan sinovium (Kalim, 1999). Fokus penelitian hendaknya dikembangkan pada bagaimana meningkatkan efek anti nyeri dan anti inflamasi dari obat dan juga menghambat perjalanan atau progresifitas penyakit yang disebut sebagai Disease Modifying Osteoarthritis Drugs (DMOAD) (Lozada, 1997).
Sampai sekarang belum ada obat yang mempunyai sifat seperti diatas. Beberapa obat dicoba dan masih dalam taraf penelitian pendahuluan. Cara kerja beberapa obat baru seperti pentosan sulfat, chondroitin sulfat dan hyaluronan pada tubuh manusia mungkin dapat memenuhi persyaratan diatas dan bekerja sebagai khondroprotektor (Kalim, 1999).
Khondroprotektor sebagai modifying drugs untuk OA dibagi dua, yaitu symptom-modifying drugs dan structure-modifying drugs. Untuk tidak menimbulkan kerancuan dalam pemakaian istilah khondroprotektor ini perlu diketahui bahwa khondroprotektif yang sebenarnya sebagaimana disebutkan di atas adalah DMOADs dan menurut Lequesne diartikan sebagai symptom and structure-modifying drugs dan ditujukan tidak hanya perlindungan terhadap rawan sendi, namun lebih jauh lagi dalam pencegahan, penghentian, perlambatan proses patologi OA dan penyembuhan atau mengembalikan lesi rawan sendi. Kelompok nutraceutical baik Khondroitin sulfat (KS), glukosamin sulfate (GS), Asam Hialuronat (AH) atau lainnya adalah symptom-modifying drugs atau sering dikenal sebagai symptomatic slow-acting drugs for osteoarthritis (SYSADOA) karena belum ada obat yang memenuhi kriteria sebagai DMOADs.
Perkembangan obat-obat OA masa kini juga sesuai dengan perkembangan pengetahuan tentang patogenesa OA. Seperti peran Nitric Oxide (NO) pada kerusakan kartilago. NO diketahui berperan sentral pada sistem imunitas termasuk modulasi respon imun. Beberapa peneliti mendapatkan kenaikan kadar inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada penderita OA maupun RA. Didalam sendi NO menstimulasi sitokin yang meningkatkan katabolisme kartilago dengan perantara TNF- dan IL-1 (Soeroso et al., 1999).
Penelitian di RS Dr. Sardjito untuk obat-obat OA yang diduga masuk golongan DMOAD diantaranya adalah asam lemak tidak jenuh Omega-3 dan kombinasi kurkuminoid dan minyak atsiri kurkuma (Kertia et al., 1996; Broto et al., 1999). Penelitian pada asam lemak tidak jenuh omega-3 mene¬mukan bahwa suplemen tersebut ternyata dapat mengurangi keluhan radang sendi dengan cara berkompetisi dengan asam arakhidonat yang membentuk prostaglandin E2, Prostasiklin (PGI2) dan PGF2 yang menyebabkan inflamasi (Weber & Leaf, 1991; Isbagio, 1992). Manfaat lain pada in¬hibisi asam arakhidonat oleh omega-3 ini adalah peran asam eikosapentanolat (EPA) pada jalur lipooksigenasi dalam konversi menjadi Lekotrin-B3 (LTB3). Lekotrin-B3 adalah sejenis lekotrin yang 1/10 kali kekuatannya dibanding LTB4 dalam meningkatkan kemo¬taksis dan agregasi netrofil. Peran EPA dalam konversi LTB3 dan berkompetisi dengan LTB4 inilah yang mungkin berefek suatu anti inflamasi dan akibatnya menyebabkan turunnya infiltrasi lekosit dan inflamasi. Penelitian terakhir mengenai peran diet EPA pada manusia menunjukkan pening¬katan monosit dan netrofil pada metabolisme asam arakhidonat dan meningkat¬nya fungsi netrofil (Dehmer, 1990). Khasiat omega-3 yang lain adalah meningkatkan nitrik oksida pada sel endotel pembuluh darah subkhondral yang efeknya adalah relaksasi endotel yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer di daerah subkhondral. Berbagai khasiat omega-3 diatas akan mengurangi iskemia pada daerah subkhondral sekaligus menghilangkan nyeri tulang (bone angina) pada daerah tersebut (Ferreira, 1992; Dehmer, 1990; Gerster, 1995). Omega-3 diketahui juga menekan IL-1. Manfaat omega-3 dalam menekan produksi IL-1 inilah memberikan harapan bahwa asam lemak omega-3 dapat bermanfaat digunakan untuk mempertahankan homeostasis khondrosit dalam rangka proses perbaikan kartilago serta mempertahankan keutuhan jaringan kolagen dan proteoglikan dalam perannya mempertahankan viskositas cairan sinovial (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990).
Pada penelitian di RS Dr. Sardjito dengan dosis omega-3 sebanyak 600 mg/hari selama 3 bulan ternyata dapat memperbaiki keluhan nyeri, diukur dengan adanya perbaikan indeks lequesne secara bermakna dibanding kelompok kontrol (Broto et al., 1999). Dosis maintenance omega-3 adalah 300 – 400 mgr/hari (Connor, 1991). Di Amerika Utara diteliti dosis maintenance sebesar 50 mg EPA dan 80 mg DHA per hari ini setara dengan masakan 2 ekor ikan laut yang gemuk (Mackerel, Herring, salmon, tuna, sarden) tiap minggunya disajikan dengan cara direbus atau dipanggang (Elswyk, 1993). Kelompok penelitian di Universitas Washington Amerika menggunakan dosis terapi sebesar 3.500 mg/minggu selama 1 tahun dengan sampel lebih dari 1800 orang penderita artritis mendapatkan hasil perbedaan keluhan nyeri artritis yang berkurang berbeda bermakna antara kelompok terapi dan kontrol (Connor, 1997).
Demikian pula untuk penelitian dengan kombinasi kurkuminoid dan minyak atsiri kurkuma ternyata kemampuan suplemen ini untuk menekan rasa nyeri seimbang dengan piroksikam (Kertia et al., 1997). Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa kurkuma dapat menekan aktivitas siklooksigenase dan lipoksigenase (Huang , 1995; Agnam et al., 1995), juga aktivitas anti inflamasi yang lebih baik dibanding fenilbutazon (Goot, 1995), sebanding dengan kortison (Margono et al., 1995). Selain itu aktivitas menekan radikal bebasnya juga baik (Tonnesen, 1989).


Glukosamin Sulfat dan Kondroitin Sulfat

Kelompok nutraceutical baik khondroitin sulfat (KS), glukosamin sulfat (GS), Asam hialuronat (AH) atau lainnya adalah symptom-modifying drugs atau sering dikenal sebagai symptomatic slow-acting drugs for osteoarthritis (SYSADOA) karena belum ada obat yang memenuhi kriteria sebagai DMOADs.
Menyangkut manfaat klinis khondroprotektor ini perlu diketahui terlebih dahulu bahwa tidak banyak penelitian bermutu yang independen sebagaimana dikemukakan oleh McAllindon TE dan kawan-kawan setelah mereka melakukan systematic quality assessment and meta analysis terhadap 15 publikasi dari tahun 1980 sampai 1998. Enam penelitian terhadap GS dan 9 untuk KS. Hanya satu penelitian yang independen yaitu Vajaradul tahun 1981 untuk GS, namun skor untuk kualitas rendah (37.7). Meta analisis serupa dilakukan pula oleh orang lain yaitu Noack W dan Leeb BF. Noack W dan kawan-kawan melakukan meta analisis terhadap 6 penelitian dengan desain penelitian yang baik tentang GS dan mendapatkan adanya dua keterbatasan utama yaitu bahwa hanya satu penelitian yang benar-benar mengikuti kaidah pemilihan sampel secara acak dan peneliti pada umumnya berafiliasi dengan produsen dari bahan yang diujikan. Sedangkan Leeb BF dan kawan-kawan melakukan hal serupa terhadap 7 publikasi pemakaian KS dengan hasil yang tidak berbeda jauh.
Pertimbangan lain adalah berbagai umumnya penelitian dilakukan dengan randomized controlled trial (RCTs) yang biasanya jangka pendek (4-6 minggu). Hingga kini belum diketahui dengan baik efektifitas dan toksisitas GS dan KS dalam jangka panjang. Selain faktor tersebut, kadar maupun kemurnian dari GS dan KS bervariasi dari satu produsen ke produsen lain dan belum ada standarisasi produk. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap masalah efikasinya.
Reginster dan kawan-kawan membuktikan untuk pertama kalinya bahwa GS pada pemberian jangka 3 tahun mampu mempengaruhi struktur rawan sendi yaitu dengan didapatkannya pengurangan penyempitan celah sendi (joint space anarrowing) secara radiologis. Disamping itu efektifitas simtomatik dibuktikan melalui pengukuran WOMAC (Western Onatrio and McMaster Universities) sebagai keluaran klinis dan menyangkut tidak hanya pengukuran nyeri, namun juga aktivitas hidup keseharian (ADL/activities of the daily living). Uebelhart D dkk juga untuk pertama kalinya membuktikan bahwa KS dapat mempengaruhi perjalanan alamiah OA pada manusia melalui pembuktian hambatan progresi OA secara radiologik pula.
Khondroitin Sulfat merupakan struktur rantai bersama dengan keratan sulfat membentuk matrik proteoglikan Hasil meta-analisis yang dilakukan Leeb et al.,(1998), pada meta-analisis terhadap 4 penelitian RCT pada 227 pasien mendapatkan KS lebih baik dari plasebo terhadap indeks lequesne, visual analog scale (VAS) dan komedikasi obat lain. KS memberikan efek mengatasai rasa nyeri yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam waktu pemberian 6 bulan tanpa adanya perbedaan efek dosis (sebagai contoh pemakaian KS 2000 mg/ hari sama efektifnya dengan dosis 800 mg/ hari). Bourgeois P dkk membuktikan bahwa pemberian 1200 mg KS sebagai dosis tunggal atau dalam dosis terbagi 3 selama 3 bulan, efektifitas terhadap parameter VAS nyeri dan Lequesne’s index tidak berbeda bermakna. Peneliti lain tentang efikasi ini cukup banyak seperti Das Am dkk dan sebagainya.
Khondroprotektor harus diberikan dalam jangka panjang sesuai dengan hasil studi meta-analisis yang dilakukan oleh MacAlindon TE dan kawan-kawan. Mereka menyimpulkan bahwa efikasi dari Glukosamin sulfat lebih kecil setelah pemberian 4 minggu dan hal tersebut menyiratkan bahwa keuntungan dari pemakaian obat ini dicapai dengan pemberian lebih dari 1 bulan. Demikian pula hasil yang dikemukakan oleh Morreale P dkk yang membandingkan KS dan Natrium diklofenak dalam mengatasi nyeri menyatakan bahwa KS baru memberikan efek analgetik pada fase akhir uji (6 bulan). KS dapat tetap memberikan efek selama 2-3 bulan setelah pemberian dihentikan.
Sebagian besar penelitian ditujukan pada OA sendi lutut dan panggul, namun Fosters KK dkk mencobakan pada OA di tulang belakang dan mendapatkan hasil efektifitas yang sama sebagaimana dikemukakan peneliti lain terhadap OA lutut atau panggul.
KS memiliki efek anti inflamasi dengan mekanisme yang belum jelas. KS tidak menghambat isoform cyclooxygenase (COX) atau enzim proteolitik. Setnikar R dkk mengatakan bahwa efek anti-inflamasi dicapai melalui hambatan in vitro pembentukan superoksida dan enzim lisosomal pada hepar. Beberapa peneliti mencoba membandingkan antara glukosamin sulfat dengan berbagai NSAIDs seperti Ibuprofen dan natrium diklofenak. Fabender HM dkk mendapatkan bahwa GS sebanding dengan ibuprofen dalam efek menghilangkan nyeri dengan lebih sedikit (n=200, 6%:35%) efek samping. Setnikar mendapatkan efek GS sebagai anti inflamasi lebih rendah dibandingkan indometachine atau asam salisilat. Ronca F dkk memperlihatkan bagaimana efek anti inflamasi yang diperankan oleh KS, yaitu dengan ditemukannya antichemotactic activity migration, menurunnya fagositosis, hambatan pengeluaran berbagai enzim degradatif serta proteksi membran sel terhadap oksigen reaktif.
Bagaimana agent khondroprotektif tersebut sampai di cairan sendi dan dimanfaatkan oleh khondrosit serta terjadinya perbaikan rawan sendi? Pertanyaan ini masih sulit untuk dijawab dengan tuntas. Pertama, pemberian intra artikular seperti AH atau glycosaminoglycans lain (GAGs) atau parenteral dalam proses perbaikan rawan sendi lebih mudah untuk dicerna karena baik jumlah maupun struktur molekularnya tidak banyak berubah. Asam hialuronat (AH) secara fisiologik merupakan pengaman struktur rawan sendi dan mencegah nyeri artritis. Baik ukuran maupun jumlah AH akan berkurang pada pasien OA. Pemberian AH intra artikular telah dibuktikan mampu mengurangi rasa nyeri, sebagaimana ditunjukkan pula oleh pemberian oral GS. McCarty MF et al., mencoba menjelaskan mekanisme bagaimana GS dapat memperbaiki rawan sendi. Dari studi yang mereka lakukan dikemukakan bahwa GS akan meningkatkan produksi AH oleh sinovium seolah-olah seperti efek menyerupai hormon yang dipicu oleh ikatan GS terhadap protein membran sinovium. Namun studi lain yang dilakukan oleh Creamer P dkk tentang mekanisme kerja agent khondroprotektif (AH) belum memberikan kejelasan. Peneliti tersebut menggunakan MRI dan 99m Tc bone scanning untuk mengetahui pemanfaatan AH tersebut pada pasien OA. Ternyata tidak terlihat perubahan dalam waktu penelitian 6 minggu. Mungkin hal ini disebabkan jumlah sampel yang terlalu kecil (n=12).
Pemberian oral seperti GS dan KS tentunya harus melalui sawar mukosa gastrointestinal bagi komponen dengan berat molekul tinggi serta rawan terhadap degradasi enzimatik. Beberapa peneliti mendapatkan pemberian oral Glukosaminoglikans (GAGs) ini sebagian dapat diabsorbsi sebagai GAGs yang sebagian terdigesti dalam bentuk berat molekul tinggi dan oligosakharida (Conte A et al., Palmieri et al., Ronca G et al.). Studi bioavailabilitas yang dilakukan oleh Ronca G et al., menyebutkan bahwa 10% bolus oral ditemukan dalam plasma dalam bentuk komponen dengan berat molekul tinggi (>5 kd) dan 20% lagi dalam bentuk komponen dengan berat molekul rendah. Gross, D dari Jerman mendapatkan hal yang serupa berkaitan dengan dosis pemberian KS yaitu 500 mg, 800 mg dan 1000 mg. Peneliti tersebut mendapatkan bahwa setelah bolus oral dalam 3-6 jam telah ditemukan sejumlah KS dalam darah dan cairan sinovium pada penggunaan 800 mg dan 1000 mg, namun tidak pada dosis 500 mg.
Conte A et al., lebih lanjut melakukan studi farmakokinetik terhadap pemberian KS oral dengan melakukan pengukuran terhadap ukuran dan jumlah AH pada cairan sendi lutut. Pada hari ke 10 pasca pemberian KS didapatkan kenaikan AH sebesar 25% diikuti dengan meningkatnya berat molekul rata-rata AH. Studi ini menunjang studi lain secara in vitro yang dilakukan pada kultur jaringan yaitu pemberian glukosamin eksogen akan meningkatkan kecepatan sintesis HA oleh sinoviosit.
Studi pada tikus yang dilakukan oleh Ronca F et al., untuk melihat distribusi jaringan dari pemberian KS baik oral atau parenteral 6 jam setelah pemberian KS tersebut mendapatkan bahwa konsentrasi tertinggi untuk pemberian oral terlihat di jaringan dan darah diikuti oleh urin (urine + bladder content). Untuk KS dan metabolitnya sendiri dijumpai terbanyak selain pada jaringan dan darah juga di feses (feses + intestinal content). Studi pada manusia dilakukan oleh Setnikar I dkk menggunakan GS yang dilabel dengan 14C yang diberikan secara oral, IM dan IV. Pada pemberian oral 90% GS diabsorbsi. GS bebas tidak dijumpai pada plasma dan memberikan kesan bahwa GS ini merupakan prodrug karena akan terdistribusi pada banyak jaringan.
Uebelhart D et al., membuktikan bahwa pemberian KS sebelum timbulnya kerusakan rawan sendi pada kelinci yang diinduksi oleh chymopapain memiliki efek protektif dengan ditemukannya kadar proteoglikan yang lebih tinggi.
Pada tingkat seluler, Huettinger M melakukan studi pada pertumbuhan sel fibroblast dimana diperbandingkan dengan penambahan KS proteoglycan dengan heparan sulphate (HS) proteoglycan maupun dermatan sulphate (DS) proteoglycan dalam kondisi yang dibuat menyerupai penyembuhan luka. Keberadaan KS proteoglycan mampu memacu proses rekonstruksi struktural yang dapat dikatakan memperbaiki tensegrity sel. Lippiello L et al., melakukan penelitian menggunakan kultur khondrosit dan percobaan hewan selama 16 minggu pada 36 kelinci dan mendapatkan bahwa pemberian KS bersama GS lebih bermanfaat daripada pemberian tunggal.
Keuntungan utama pada pemakaian GS dan KS ini adalah segi kemanannya terutama terhadap kejadian efek samping gastrointestinal bila dibandingkan dengan pemakaian NSAIDs. Akan tetapi dilaporkan pula di Australia (4 dari 62, studi hewan) dan Jerman (4 dari 45 pasien) bahwa sejumlah reaksi yang tidak diinginkan dapat terjadi yaitu berupa exanthema, diare, reaksi hipersensitifitas, gangguan lambung dan sebagainya. Mensikapi berbagai hasil penelitian yang dikemukakan di atas dan adanya pertanyaan yang belum mampu di jawab, maka beberapa hal di bawah ini tetap perlu diperhatikan, diantaranya adalah belum didapatkan data efektifitas dan toksisitas penggunaan khondroprotektor dalam jangka panjang, serta belum ada standarisasi produk baik dari segi kemurnian maupun kuantitas kandungannya. Pasien dengan OA pada umumnya lansia cenderung obese dan rentan untuk terjadinya diabetes melitus tipe 2. Glucosamin dapat meningkatkan resistensi insulin dengan mekanisme yang belum dipahami betul. Diantaranya adalah gangguan dari ikatan reseptor sampai glikolisasi protein intraselular.
Data dari IMS Study of Drug Prescription dan THALES panel terhadap 300 dokter umum dan analisis 11.000 pasien di Perancis menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan (direct cost) lebih tinggi dibandingkan terhadap other OA drugs. (Deal CL dan Moskowitz RW menyebutkan angka $30-40/ bulan). Namun dari segi lain (indirect cost) seperti pengobatan terhadap efek samping lebih rendah serta 50% lebih pengurangan biaya untuk fisioterapi.


Kesimpulan

Walaupun perkembangan penemuan obat-obat untuk OA belum mendapatkan bentuk yang ideal, namun terapi OA harus segera dilaksanakan. Program pengobatan yang paling tepat adalah menggunakan kombinasi terapi non farmakologik dan terapi farmakologik. Terapi dengan OAINS memang dapat menghilangkan nyeri dan inflamasi tetapi tidak menyembuhkan. Sementara obat yang sekaligus menghilangkan nyeri, mengurangi inflamasi dan mengurangi progresifitas penyakit belum ditemukan, dalam memilih OAINS hendaknya diperhatikan paling tidak menggunakan obat yang tidak memperberat progresifitas penyakit, efektifitas dan toleransinya pun baik sehingga efek sampingnya dapat ditekan seminimal mungkin. Terapi bedah dipertimbang kan bila terjadi kerusakan sendi yang parah.
Beberapa symptom-modifying agents seperti Glukosamin Sulfat dan khondroitin sulfat memberikan manfaat klinis terutama dalam menghilangkan nyeri karena adanya efek anti inflamasi yang setara dengan NSAIDs seperti ibuprofen atau natrium diklofenak. Mekanisme kerja agent ini belum jelas. Masih diperlukan studi jangka panjang yang independen akan manfaat klinis dan toleransi GS, KS dalam kaitan pengobatan OA.


Daftar Pustaka

1. Agnam, N., Samsoedi, M., Temmerman, H., Venie, U.A., Sugiyanto, Goot, H., 1995 The relationship between structure and inhibiton of lipoxygenase activity of curcumin derivates. International symposium on curcumin pharmacochemistry (ISCP), Yogyakarya..
2. Altman RD, Lozada CJ. 1998 Practice guidelines in the management of osteoarthritis. Osteoarthritis cartilage:6 (Suppl A):22-4.
3. Borgeois P, Chales G, Dehais J, Delcambre B, Kuntz JL, Rozenberg S. 1998 Efficacy and tolerability of chondroitin sulphate 1200 mg/day VS chondroitin sulphate 3 x 400 mg/day vs placebo. Osteoarthritis cartilage;6 (Suppl A): 25-30.
4. Brandt, K.D. 1993 Osteoarthritis a epidemiology, pathology and pathogene¬sis In H.R Schumacher, J.H Klippel (eds): Primer on the Rheumatic Disease. 10th ed. pp. 184-8. Atlanta, USA.
5. Brief AA, Maurer SG, Di Cesare PE. 2001 Use of glucosamine and chondroitin sulphate in the management osteoarthritis. J Am Acd Orthop Surg;9(2):71-8.
6. Broto, R.., Rahardjo, P., Kertia, N., 1999 Penelitian pendahuluan Efek suplementasi asam lemak tidak jenuh omega-3 pada derajat kesehatan penderita osteoartritis. Dalam H. Achmad, M.A. Widodo, P.M. Arsana (eds): Proceeding Reumatologi Menyongsong Millenium ke-3. Konferensi Kerja VI IRA, Malang, 24-27 Juni 1999.pp.21
7. Bucsi L, Poor G. 1998 Efficacy and tolerability of oral chondroitin suklfate as a Symptomatyic Slow-Acting Drug for osteoarthritis (SYSADOA) in the treatment of knee osteoarthritis. Osteoarthritis cartilage;6(Suppl A):31-6.
8. Connor, W.E., 1991 Health Effect of Omega-3. World Rev Nutr Diet; V(66) : 118-32
9. Creamer, P., 1997 Intra-articular corticosteroid injections in osteoarthritis : do they work and if so, how ?. Annals of Rheumatic Disease. 56: 634-636.
10. Daas AM, Hendsonville NC, Eitel J, Hammad T. 1998 Efficacy of a new class of agents (glucosamine hydrochloride and chondroitin sulphate) in the treatment of a osteoarthritis of the knee. American association of hip and knee surgeons; Eight annual fall meeting, November 6-8, Dallas,
11. Deal L, Moskowitz RW. 2001 Nutraceuticals as therapeutic agents in osteoarthritis. The role of glucosamine, chondroitin sulphate, and collagen hydrolysate.Bull Rheum Dis;50(7):1-4.
12. Dehmer, G.J., 1990 Omega-3 Fatty Acids in E.J. Topol (ed); Textbook of Interventional Cardiology. W.B Saunders Company. Philadelphia.pp.121-51.
13. Dingle, J.T., 1991 Cartilage maintenance in Osteoarthritis: interaction of cytokines, NSAID and Prostaglandins in articular Cartilage and Repair. J.Rheumatol , 18 (Suppl.28); 30-7
14. Dunkin, M.A., 1996 OA: Undoing the Damage. Arthritis Today: Archive March-April.
15. Elswyk, M.E.V. 1993 Omega-6 & Omega-3 : Essential Fatty Acids.
16. Fabbender HM, Bach GL, Haase W, Rovati LC, Setnikar I. 1994 Glucosamine sulphate compared to ibuprofen in osteoarthritis of the knee. Osteoarthritis cartilage; 2:61-9.
17. Ferreira, S.H., 1992 New Insights into the Mechanism of pain in A.R Nasution, J Darmawan, H Isbagio (eds) : Rheumatology APLAR, pp. 363-68. Churchill Livingstone, New York.
18. Forster KK, Schmid K, Giacovelli G, Rovati LC. 1999 Efficacy and safety of glucosamin sulphate in osteoarthritis of the spine: a placebo-controlled, randomized, double-blind study. Osteoarthritis cartilage;7 (Suppl A):S32.
19. Gerster H., 1995 The use of n-3 PUFAs (fish oil) in enteral nutrition. Int J Vi¬tam Nutr Res,65(1):3-20.
20. Ghosh, P., 1992 Future Treatments of Osteoarthritis in Nasution, A.R., Dar¬mawan.J., Isbagio.H (eds) Rheumatology APLAR. pp.255-58. Churchill Living¬stone , New York.
21. Goot, V.D., 1995 The chemistry and qualitative structure-activity relationships of curcumin. International symposium on curcumin pharmacochemistry (ISCP), Yogyakarya..
22. Gotlleb D., 1998 Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs. The Arthritis page of drdoc on-line http: //www. aztec.co.za. pp.1-7
23. Gross D. 1983 A German pharmacokinetic study on oral chondroitin sulphate. Therapiewoche; 33:4238-44.
24. Henry-Launois B, Aussage P, Launois R. 1998 Pharmaco-economic study: Evaluating use patterns and economic impact of CS 4&6 in real life setting. EULAR-98 Symposium-Satelite IBSA Geneva. Satelite Symposium 10. New approach in OA: chondroitin sulphate (CS 4&6) not just a symptomatic treatment.
25. Huettinger M. Stress fiber analysis of fibroblast grown on different proteoglycans. 1998. EULAR 98 Symposium-Satelite IBSA; Satelite Symposium 10. New approcahes in OA: chondroitin sulphate (CS 4&6) not just a symptomatic treatment. Geneva, Sept.7th
26. Hutton, C.W., 1990 Osteoarthritis. Medicine Internatio nal; 3; 3057- 60
27. Kalim, H., 1999 Perkembangan baru pada pengobatan osteoartritis dalam H. Achmad, M.A. Widodo, P.M. Arsana (eds) : Proceeding Reumatologi Menyongsong Millenium ke-3. Konferensi Kerja VI IRA, Malang, 24-27 Juni 1999. Hal. 52 – 56.
28. Kertia, N, Rahardjo, P., Asdie, H.A.,.1996 Keefektifan biaya antara penggunaan piroksikam dibandingkan dengan kombinasi kurkuminoid dan minyak atsiri kurkuma pada penderita Osteoarthritis. Dalam Konggres Nasional Perkumpulan Ahli Penyakit Dalam Indonesia X. Padang
29. Leeb BF, Schweizer H, Montag K, Smolen JS. 2000 A meta analysis of chondroitin suklphate in the treatment of ostaoarthritis. J Rheumatol;27:205-11
30. Lequesne M, Cadet C. 1998 Do 'chondroprotective agents' agents exist in osteoarthritis? Required proof. Therapie; 53(1):7-16 (abstrak)
31. Lewis S, Crossman M, Flannelly J, Belcher C, Doherty M, Bayliss MT, et.al. 1999 Chondroitin sulphation patterns in synovial fluid in osteoarthritis subsets. Ann Rheum Dis;58:441-5.
32. Lippielo L, Woodward J, Karpman R, Hammad TA, Phoenix AZ, Edgewood Md. 1999 Beneficial effect of cartilage disease-modifying agents tested in chondrocyte cultures and a rabbit instability model of oateoarthritis. ACR meeting 1999, Boston, November 15, (abstrak)
33. Lozada C.J., Altman R.D., 1997 Management of Osteoarthritis. In : Koopman WJ (ed): Arthritis and Allied Condition. 13 th ed. Baltimore, William & Wilkins. pp. 2013-26.
34. MacAlindon TE, LaValley MP, Gulin JP, Felson DT. 2000 Glucosamine and chondroitin for treatment of osteoarthritis. A systematic quality assessment and meta-analysis. JAMA,;283:1469-75.
35. Morreale P, Manopulo R, Galati M. 1996 Comparison of the anti-inflammatory efficacy of chondroitin sulphate and diclofenac sodium in patients with knee osteoarthritis. J Rehumatol;23:1385-91.
36. Moskowitz, R.W., 1987 Primary Osteoarthritis: Epidemiology, clinical aspect and general management. Am. J. Med.; 83 (supll 5a); 5-10
37. Moskowitz, R.W., 1997 Osteoarthritis. Arthritis Foundation. www@arthritis.org.
38. Mourao PA. 1988 Distribution of chondroitin 4-sulphate and chondroitin 6-sulphate in human articular and growth cartilage. Arthritis Rheum;31(8):1028-33.
39. Nasution, A.R., Setiyohadi, B., 1999 Perkembangan terbaru di Bidang Reumatologi dalamH. Achmad, M.A. Widodo, P.M. Arsana (eds): Proceeding Reumatologi Menyongsong Millenium ke-3. Konferensi Kerja VI IRA, Malang, 24-27 Juni 1999. Hal. 1 – 7.
40. Noack W, Fischer M, Forster KK, Rovatic LC, Setnikar I. 1994 Glucosamine sulphate in osteoarthritis of the knee. Osteoarthritis Cartilage; 2:51-9.
41. Palmoski, M.J., and Brandt, K.D., 1983 Effects of some Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs on Proteoglycan Metabolism and Organization in Canine Articular Cartilage. Arthritis and Rheumatism; 23:1010-20
42. Pelletier, J.P., 1990 Cartilage Metabolism: Pointers toward new therapic op¬tion. Osteoarthritis Sympo sium: Update on Diagnosis and Therapy, Canada.
43. Pelletier,J.P., McCollum R., DiBattista, J., Loose, L.D., Cloutier, J.M., Pelletier, J.M., 1993 Regulation of Human Normal and Osteoarthritic chondrocyte interleukin-1 Receptor by Antirheumatic drugs. Arthritis & Rheumatism ,36 (11), pp. 1517-27.
44. Qiu GX, Gao SN, Giacovelli G, Rovati L, Setnikar I. 1998 Efficacy and safety of glucosamine sulphate versus ibuprofen in patients with knee osteoarthritis. Int J Clin Pharmacol Res;18(1):39-50.
45. Reginster JY, Deroisy R, Rovati LC, Lee RL, lejeune E, Bruyere O, et al. 2001. Long-term effects of glucosamine sulphate on osteoarthritis progression: a randomised, placebo controlled, trial. Lancet ;357:251-6.
46. Ronca F, Palmieri L, panicucci P, Ronca G. 1998 Anti-inflammatory activity of chondroitin sulphate. Osteoarthritis cartilage; 6(Suppl A):14-21.
47. Schumacher H.R., 1987 Osteoarthritis, the clinical picture, pathogenesis and management with studies on a new therapeutic agent, S-Ade nosylmethionine. Am.J.Med; 83 (suppl 5a); 1-4
48. Setnikar I, Palumbo R, Canali S, Zanolo G. 1993 Pharmacokinetic of glucosamine in man. Drug Res; 43(11):1109-13.
49. Silverstein F.E., Graham D.J., Senior J.R., 1995 Misoprostol reduces serious gastriintestinal complications in patients with rheumatoid arthritis receiving NSAIDs. A Randomized, double blind, placebo-controlled trial. Ann Intern Med; 123 : 241-249.
50. Soeroso, J., Effendi, Z., Santoso, G.,H. 1999 Terapi Baru pada Osteoartritis. Dalam H. Achmad, M.A. Widodo, P.M. Arsana (eds) : Proceeding Reumatologi Menyongsong Millenium ke-3. Konferensi Kerja VI IRA, Malang, 24-27 Juni 1999. Hal. 66 – 71.
51. Taha, A.S., Hudson. N., Hawkey, C.J., 1996 Famotidine for the prevention of gastric and duodenal ulcers caused by NSAIDs. N Engl J Med ; 334 : 22 : 1435-9
52. Towheed TE, Anastassiades TP. 2000 Glucosamine and chondroitin for treating symptoms of osteoarthritis. JAMA; 283:1483-4.
53. Uebelhart D, Thonar EJ, Delmas PD, Chantraine A, Vignon E. 1998 Effects of oral chondroitin sulphate on the progression of knee osteoarthritis: a pilot study. Osteoarthritis cartilage; 6 (Suppl A):39-46.
54. Uebelhart D, Thonar EJ, Zhang J, Williams JM. 1998 Protective effect of exogenous chondroitin 4,6 sulphate in the acute degradation of articular cartilage in the rabbit. Osteoarthritis cartilage 6 (Suppl A):6-13.
55. Vaz LA. 1982 Double-blind clinical evaluation of the relative efficacy of ibuprofen and glucosamine sulphate in the management of osteoarthritis of the knee in out-patients. Pharmatherapeutica ;3(3):157-68. (abstrak).
56. Weber, P.C., and Leaf, A. 1991 Health effect of 3 Polyunsaturated Fatty Acids in Seafoods. In A.P. Simopolous, R.R. Kifer, R.E Martin, S.M. Barlow (eds) : 2nd International Conference on the health effects of 3 Polyunsaturated Fatty Acids in Seafood, Washington DC, March 20-23 1990. Karger, New York.pp.218-32.
57. Yoshida K, Azuma H. 1982 Contents and composition of glycosaminoglycans in different sites of the human hip joint cartilage. Ann Rheum Dis;4(5):512-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar