Rabu, 16 Desember 2009

Hiperkalsemia, Hipokalsemia dan Osteomalasia

Konsentrasi kalsium serum, dalam keadaan normal berkisar antara 8,5-10,5 mg/dl (2,1-2,5 mMol). Sekitar 50% kalsium serum berada dalam keadaan terikat dengan protein, terutama albumin, dan sebagian kecil berada dalam bentuk garam kompleks. Sisanya, merupakan ion kalsium yang bebas yang merupakan bentuk kalsium yang aktif untuk metabolisme.
Kadar kalsium total serum, sangat dipengaruhi oleh kadar albumin serum. Pada keadaan hipoalbuminemia, kadar kalsium serum total juga akan turun, sehingga diperlukan perhitungan koreksi pada keadaan hipoalbuminemia untuk memperkirakan kadar kalsium total yang sesungguhnya. Cara yang sedarhana adalah dengan menambahkan 0,8 mg/dl kadar kalsium untuk setiap 1 g/dl albumin bila konsentrasi albumin serum < 4 mg/dl. Misalnya didapatkan kadar kalsium total 10,5 mg/dl pada albumin serum 2 g/dl, maka kadar kalsium serum setelah koreksi adalah 10,5 + (2x0,8) = 12,1 mg/dl.
Perubahan pH darah juga akan mempengaruhi kadar kalsium serum, tetapi bukan kalsium total, melainkan kadar ion kalsium. Dalam keadaan asidosis kadar ion kalsium akan meningkat, karena banyak kalsium yang dilepas oleh albumin pengikatnya, sebaliknya pada keadaan alkalosis kadar ion kalsium akan menurun.
Kadar kalsium didalam serum dipengaruhi oleh keseimbangan antara fluks kalsium ke cairan ekstraseluler dari saluran cerna, tulang dan ginjal; serta fluks kalsium keluar dari cairan ekstraseluler kedalam tulang dan keluar melalui urin.


HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia terjadi bila pemasukan kalsium kedalam darah lebih besar daripada pengeluarannya. Penyebab hiperkalsemia yang tersering adalah resorpsi tulang osteoklastik dan penyerapan kalsium di saluran cerna yang berlebihan. Resorpsi tulang oleh osteoklas dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya Hormon Paratiroid (PTH), PTH-related protein (PTHrP) dan 1,25-dihidroksi vitamin D [1,25(OH2D]. Beberapa sitokin juga dapat meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas, seperti IL-1, IL-1, TNF, limfotoksin dam TGF-. Peningkatan absorpsi kalsium di saluran cerna sebagai penyebab hiperkalsemia biasanya lebih jarang; penyebabnya adalah peningkatan kadar vitamin D serum, baik akibat intoksikasi maupun pada limfoma.
Pada umumnya, hiperkalsemia akan selalu diikuti dengan hiperkalsiuria. Walaupun demikian, beberapa keadaan yang menyebabkan gangguan ekskresi kalsium lewat urin juga adapat menyebabkan hiperkalsemia, atau memperberat hiperkalsewmia yang sudah ada. Beberapa faktor yang mengganggu reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal antara lain adalah PTH, PTHrP, ADH dan dehidrasi.

Gambaran klinik
Gambaran klinik hiperkalsemia biasanya tergantung pada penyakit primernya. Bisanya gambaran klinik yang nyata timbul bila kadar kalsium serum mencapai 14 mg/dl.
Gangguan gastrointestinal, seperti mual dan muntah merupakan gejala yang sering didapoatkan. Pada hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme primer, kadang-kadang didapatkan ulkus peptikum dan pankreatitis. Kadang-kadang juga didapatkan poliuria akibat gangguan mengkonsentrasikan urin di tubulus distal. Sehingga rehidrasi yang adekuat sangat perlu untuk mencegah dehidrasi yang berat.
Hiperkalsemia akan meningkatkan repolarisasi jantung sehingga akan memperpendek interval QT. Pada penderita yang mendapat terapi digitalis, keadaan hiperkalsemia harus dicegah karena akan meningkatkan sensitifitas terhadp obat tersebut.

Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejalan klinik akibat hiperkalsemia. Pada kadar kalsium < 12 mg/dl, biasanya tidak diperlukan tindakan terapetik, kecuali bila ada gejala klinik hiperkalsemia. Pada kadar kalsium 12-14 mg/dl, terapi agresif harus diberikan bila terdapat gejala klinik hiperkalsemia. Pada kadar > 14 mg/dl, terapi harus diberikan walaupun tidak ada gejalan klinik. Selain itu mengatasi penyakit primernya juga harus diperhatikan
Hidrasi dengan NaCl 0,9% per-infus 3-4 liter dalam 24 jam merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan pada keadaan hiperkalsemia. Tindakan ini kadang-kadang dapat menurunkan kadar kalsium serum sampai 1-3 mg/dl. Hidrasi dengan NaCl 0,9% akan meningkatkan ekskresi kalsium dengan jalan meningkatkan filtrasi glomerulus dan mernurunkan reabsorbsi kalsium di tubuluh proksimal dan distal.
Setelah hidrasi tercapai, tetapi kadar kalsium serum masih tinggi, dapat diberikan dosis kecil loop diuretics, misalnya furosemid 20-40 mg atau asam etakrinat. Diuretik tidak boleh diberikan sebelum keadaan hidrasi tercapai, karena akan memperberat dehidrasi dan hiperkalsemia. Loop diuretics akan bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle. Diuretik tiazid merupakan kontra-indikasi dalam penatalaksanaan hiperkalsemia karena akan menurunkan ekskresi kalsium lewat ginjal.
Pada keadaan hiperkalsemia yang berat, kadang-kadang diperlukan tindakan dialisis dengan menggunakan cairan dializat yanbg rendak kalsium atau bebas kalsium.
Setelah keadaan klinik memungkinkan, penderita harus dimotivasi untuk mobilisasi segera untuk mencegah keseimbangan kalsium yang negatif.
Beberapa obat juga dapat diberikan pada penatalaksanaan hiperkalsemia, tetapi hidrasi harus diberikan terlebih dahulu sebelum memikirkan penggunaan obat-obatan.
Pamidronat merupakan salah satu bisfosfonat yang dapat diberikan untuk mengatasi hiperkalsemia karena obat ini akan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Obat ini dapat diberikan secara per-infus dengan dosis 60-90 mg dalam waktu 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah demam, mialgia dan kadang-kadang hipertensi. Selain itu obat ini juga dapat mengakibatkan hipokalsemia, sehingga selama pemberian harus diawasi dengan ketat.
Plikamisin (dahulu disebut mitramisin), merupakan sitotoksik yang dapat menghambat sintesis RNA didalam osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang. Dosis obat ini adalah 15-25 g/kgBB, diberikan per-infus dalam waktu 4-6 jam. Efek hipokalsemia akan mulai terlihat setelah 12 jam pemberian dan mencapai puncaknya dalam waktu 48-72 jam. Pada umunmya dosis tunggal plikamisin sudah mencukupi untuk mencapai keadaan normokalsemia, tetapi bila diperlukan, pemberian dapat diulang setelah 48-72 jam kemudian. Plikamisin sangat toksik terhadap sumsum tulang, hepar dan ginjal sehingga saat ini penggunannya telah digantikan oleh bisfosfonat yang lebih kurang toksik.
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel parafolikular C kelenjar tiroid dan mempunyai efek menghambat kerja osteoklas dan meningkatkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Obat ini bekerja sangat cepat dan dapat menurunkan kadar kalsiu dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian. Dosisnya adalah 4-8 IU/kgBB yang diberikan secara intra-muskular atau subkutan setiap 6-8 jam. Sayangnya efek hipokalsemiknya tidak dapat dijaga terus walaupun pemberiannya dilanjutkan, Biasanya kadar kalsium akan turun 2 mg/dl dan akan naik lagi setelah 24 jam walaupun pemberian kalsitonin dilanjutkan. Kombinasi kalsitonin dengan bisfosfonat akan memberikan efek yang lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan pemakaiannya secara tunggal.
Pada hiperkalsemia akibat intoksikasi vitamin D atau akibat penyakit-penyakit granulomatosa dan keganasan hematologik (limfoma dan mieloma multipel), glukokortikoid dapat dipertimbangkan pemberiannya. Biasanya diberikan hidrokortison intravena 200-300 mg/hari selama 3-5 hari.


HIPERPARATIROIDISME PRIMER
Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu dari 2 penyebab tersering hiperkalsemia; penyebab yang lain adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua usia tetapi yang tersering adalah pada dekade ke-6 dan wanita lebih serinbg 3 kali dibandingkan laki-laki. Insidensnya mencapai 1:500-1000. Bila timbul pada anak-anak harus dipikirkan kemungkinan endokrinopati genetik seperti neoplasia endokrin multipel tipe I dan II.
Hiperparatiroidisme primer, terjadi akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) yang tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat jinak dan soliter, oleh sebab itu, dari 4 kelenjar paratiroid, biasanya hanya 1 kelenjar yang terserang. Penyebab lain yang jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar paratiroid dan yang sangat jarang adalah karsinoma pada kelenjar paratiroid.

Gambaran klinik dan laboratorik
Pada umumnya, hipereparatiroidisme primer bersifat asimtomatik. Gambaran klinik yang tersering akan tampak pada tulang dan ginjal. Peningkatan produksi PTH akan menimbulkan keadaan di tulang yang disebut osteitis fibrosa cystica yang ditandai oleh resorpsi subperiosteal pada falang distal, a salt and pepper appearance pada tulang kepala, kista tulang dan tumor coklat pada tulang-tulang ppanjang. Kelainan-kelainan pada tulang ini dapat dilihat dengan membuat foto radiografi konvensional.
Pada ginjal, hiperparatiroidisme primer akan ditandai oleh nefrolitiasis, nefrokalsinosis, hiperkalsiuria dan penurunan klirens kreatinin.
Kelainan lain yang dapat timbul pada hiperparatiroidisme primer adalah miopati, ulkus peptikum dan pankreatitis keratopati pita, gout dan pseudogout dan kalsifikasi koroner dan ventrikel serta katup jantung.
Secara laboratorik akan didapat gambaran hiperkalsemia dengan kadar PTH yang tidak tertekan, dapat normal tinggi atau meningkat. Ekskresi kalsium urin akan menurun sedangkan ekskresi fosfat urin akan meningkat. Kadar 25(OH)D biasanya rendah sedangkan kadar 1,25(OH)2D biasanya meningkat, tetapi peningkatan ini tidak mempunyai nilai diagnostik yang penting.

Penatalaksanaan
Hiperparatiroidisme primer akan sembuh bila kelenjar paratiroid yang abnormal dibuang. Walaupun demikian, keputusan tindakan bedah tidak mudah karena sebagian besar bersifat asimtomatik.
Indikasi pembedahan pada hiperparatiroidisme primer adalah :
1. Kadar kalsium serum > 1 mg/dl diatas batas normal tertinggi,
2. Didapatkan komplikasi hiperparatiroidisme primer, seperti nefrolitiasis, osteotis fibrosa cystica,
3. Episode akut hiperparatiroidisme primer dengan hiperkalsemia yang mengancam jiwa,
4. Hiperkalsiuria yang nyata (> 400 mg/hari)
5. Densitometri tulang pada radius distal yang menurun dengan nilai skore T < -2,
6. Umur dibawah 50 tahun.

Bila penderita tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan, maka beberapa tindakan medik dapat dilakukan, seperti hidrasi yang adekuat, asupan kalsium yang cukup, pemberian preparat fosfat, terapi estrogen pada wanita pasca menopause, bisfosfonat dan mungkin dimasa yang akan datang dapat diberikan obat-obat kalsimimetik.
Pemberian kalsium pada penderita hiperparatiroidisme primer harus mencukupi, tidak boleh terlalu tinggi maupoun terlalu rendah. Asupan kalsium yang terlalu rendah akan merangsang sekresi PTH lebih lanjut.

Sindrom Hiperparatiroid Familial
Sekitar 10% kasus hiperparatiroid primer, disebabkan oleh kelainan genetik, seperi Neoplasia Endokrin Multipel (MEN) tipe I (Sindrom Wermer), MEN tipe IIA (Sindrom Sipple) dan Sindrom Rahang-Hiperp[aratiroidisme.
MEN I pertama kali ditemukan oleh Wermer pada tahun 1954, diturunkan secara otosomal dominan dan ditandai oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior dan pankreas. Tumor hipofisis yang tersering adalah prolaktinoma dan kadang-kadang menyebabkan akromegali dan Sindrom Cushing akibat sekresi hormon pertumbuhan dan ACTH yang berlebihan. Tumnor pankreas pada MEN I umumnya dalam bentuk islet cell tumours yang sering meningkatkan sekresi gastrin sehingga menimbulkan Sindrom Zollinger-Ellison dan kadang-kadang juga menyebabkan hipersekresi insulin sehingga menimbulkan hipoglikemia puasa.
MEN IIA, pertama kali ditemukan oleh Sipple pada tahun 1961, bersifat otosomal dominan dan ditandai oleh karsinoma tiroid meduler (MTC), faeokromositoma bilateral dan hiperplasia paratiroid. MTC merupakan kelainan yang dominan pada MEN IIA dan sering mengakibatkan kematian akibat metastasisnya. Sedangkan hiperparatiroidisme merupakan kelainan yang jarang terdapat pada MEN IIA.
Sindrom tumor rahang-hiperparatiroidisme merupakan kelainan yang pertama kali ditemukan oleh Jackson pada tahun 1958, diturunkan secara otosomal dominan dan saat ini sudah diketahui bahwa kelainannya terletak pada kromosom 1q21-q3. Penyakit ini ditandai dengan hiperkalsemia yang berat sejak anak-anak dengan adenoma soliter paratiroid yang besar. Kelainan tulang pada sindrom ini sangat eksklusif hanya menyerang maksila dan mandibula.

Familial Hypocalciuric Hypercalcemia (FHH)
FHH merupakan kelainan otosomal dominan yang ditandai oleh hiperkalsemia dan hipokalsiuria relatif. Kelainan ini bersifat asimtomatik. Secara biokimia, kelainan ini ditandai oleh peningkatan kadar kalsium serum, ekskresi kalsium urin yang normal dan kadar PTH dan 1,25(OH)2D yang juga normal.
Paratiroidektomi, biasanya hanya memberikan efek normokalsemik yang sementara, walaupun demikian, tetap diindikasikan pada keadaan :
1. Hiperparatiroidisme primer pada neonatus akibat dosis ganda gen FHH,
2. Orang dewasa dengan pankreatitis berulang
3. Anak-anak atau orang dewasa dengan hiperkalsemia menetap > 14 mg/dl.


HIPERPARATIROIDISME SEKUNDER DAN TERSIER
Secara fisiologik, hormon PTH berfungsi memobilisasi kalsium dan fosfat dari tulang, meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, menurunkan reabsorpsi fosfat dan meningkatkan produksi 1,25(OH)2D di tubulus proksimal ginjal. Sebaliknya kadar kalsium, fosfat dan 1,25(OH)2D akan mengatur sekresi PTH baik secara langsung maupun tidak langsung. Kalsium mengatur sekresi PTH melalui aktifasi reseptor kalsium (CaR) pada permukaan paratiroid yang menghasilkan peningkatan sekresi PTH pada keadaan hipokalsemia dan penurunan produksi dan sekresi PTH pada peningkatan kalsium intraseluler. Perubahan kadar kalsium serum juga dapat mengatur sintesis PTH pada tingkat seluler yaitu pada transkripsi pre-pro-PTH dan secara langsung mengatur proliferasi sel kelenjar paratiroid.
Berbeda dengan kalsium, walaupun 1,25(OH)2D dapat meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat di usus, tetapi tidak dapat secara langsung mengatur produksi PTH. Secara tidak langsung, 1,25(OH)2D dapat menekan transkripsi gen PTH dan pertumbuhan sel melalui reseptor vitamin D (VDR).
Hiperparatiroidisme sekunder, merupakan kelainan yang didapat yang timbul akibat hipokalsemia yang lama yang dapat terjadi pada gagal ginjal terminal, defisiensi vitamin D maupun keadaan resisten terhadap vitamin D. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan kadar PTH yang tinggi sekali dengan kadar kalsium serum yang normal atau rendah.
Keadaan hipokalsemia yang lama akan menyebabkan perubahan pada kelenjar paratiroid menjadi otonom dan berkembang menjadi keadaan sepertri hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme tersier.
Hiperparatiroidisme tersier harus dibedakan dengan hiperparatiroidfisme sekunder yang refrakter. Pada hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, sekresi PTH tetap tak dapat ditekan walaupun kelainan metaboliknya sudah diperbaiki. Baik pada hiperparatiroidisme tersier maupun hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, kelenjar paratiroid berada dalam keadaan hiperfungsi yang tidak memberikan respons yang baik oleh regulator fisiologik. Perubahan-perubahan pada tinbgkat jaringan, seluler dan molekuler diduga berperan pada keadaan ini, seperti peningkatan jumlah sel paratiroid, perubahan mekanisme pada reseptor kalsium di kelenjar paratiroid dan perubahan fungsi VDR. Selain itu, hiperfosfatemi dan resistensi organ target terhadap PTH juga dapat menyebabkan hiperparatiroidisme persisten walaupun telah diberikan terapi kalsium dan vitamin D.


HIPERKALSEMIA PADA KEGANASAN

HIPERKALSEMIA HUMORAL PADA KEGANASAN
(HUMORAL HYPERCALCEMIA OF MALIGNANCY, HHM)
Istilah HHM digunakan untuk mendeskripsikan sindrom klinik yang ditandai oleh hiperkalsemia yangdisebabkan oleh sekresi faktor kalsemik oleh sel kanker. Saat ini istilah HHM dibatasi untuk hiperkalsemia akibat peningkatan produksi Parathyroid Hormon related Protein (PTHrP).
Parathyroid-hormone-related protein (PTHrP) pertama kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia pada keganasan. Protein ini memiliki 8 dari 13 asam amino pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat mengaktifkan reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH yang hanya memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri dari 3 isoform, memiliki jumlah asam amino yang lebih banyak, masing-masing 139, 141 dan 174 asam amino. Karena PTHrP juga dapat berikatan dengan reseptor PTH, maka aksi biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh PTHrP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain itu, ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP tidak, sehingga akan terjadi hiperkalsiuria. Selain itu, PTHrP juga tidak meningkatkan produksi 1,25(OH)2D dan absorpsi kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan aktifitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP hanya meningkatkan aktifitas osteoklas, sehingga resorpsi tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat.
Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia, sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan PTHrP tetap normal. Oleh sebab itu, kadar PTHrP dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan pembedahan keganasan yang bersangkutan.
Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperan pada metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada morfogenesis payudara.
Penatalaksanaan terhadap HHM secara umum meliputi :
1. Mengurangi massa tumor,
2. Mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas
3. Meningkatkan klirens kalsium di ginjal


HIPERKALSEMIA DAN DESTRUKSI TULANG PADA KEGANASAN
Pada HHM, hiperkalsemia tidak diikuti dengan destruksi tulang. Bila selain hiperkalsemia juga didapatkan destruksi tulang, maka harus dipikirkan 3 kemungkinan, yaitu :
1. Produksi berbagai sitokin yang meningkatkan kerja osteoklas, misalnya pada mieloma multipel,
2. Peningkatan produksi 1,25(OH)2D, misalnya pada beberapa tipe limfoma,
3. Metastasis sel tumor ke tulang, biasanya pada tumor-tumor padat.

Pada mieloma multipel, sel-sel mieloma didalam sumsum tulang akan meproduksi berbagai sitokin yang akan mengaktifkan osteoklas pada endosteal yang berdekatan. Sitokin utama yang dihasilkan adalah limfotoksin, selain juga IL-1 dan IL-6. Selain melalui berbagai sitokin tersebut, pada mieloma multipel juga terjadi peningkatan PTHrP.
Hiperkalsemia juga sering terjadi pada beberapa jenis limfoma, seperti Penyakit Hodgkin, limfoma sel-B, limfoma sel-T dan limfoma Burkit. Berbagai faktor yang dihasilkan oleh sel limfoma diduga berperan pada patogenesis hiperkalsemia, seperti sitokin-sitokin yang meningkatkan resorpsi tulang, PTHrP dan peningkatan produksi 1,25(OH)2D.
Tumor-tumor padat sering menyebar dan bermetastasis ke tulang. Tulang merupakan organ ketiga yang sering dihinggapi metastasis tumor setelah hati dan paru. Beberapa tumor yang sering metastasis ke tulang adalah tumor payudara, paru dan prostat. Ada 2 bentuk metastasis ke tulang, yaitu metastasis osteoblastik dan metastasis osteolitik. Metastasis osteolitik merupakan keadaan klinik yang bermakna karena dapat menyebabkan fraktur patologik dan hiperkalsemia. Pada keadaan metastasis tulang, maka terapi kuratif sangat kecil hasilnya, sehingga terapi yang diberikan hanya bersifat paliatif.

Metastasis ke tulang, pada umumnya terjadi secara hematogenik. Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme metastasis ke tulang, yaitu :
1. Adanya pleksus Batson (Batsons venous system) yang tersebar disepanjang vertebra.
2. Sinusoid sumsum tulang banyak mengandung mikrokapiler dan berakhir dengan endotel selapis sehingga memudahkan sel kanker lewat dan bersarang di tulang.
3. Adanya bone derived factors, yang secara invitro bersifat kemotaksis, menyebabkan adesi dan agregasi serta merangsang pertumbuhan sel kanker tertentu, sehingga sel kanker cenderung bersarang di tulang.
4. Beberapa sitokin yang bersifat pendorong pertumbuhan bagi sel kanker, ternyata terdapat di sumsum tulang dengan konsentrasi yang tinggi.
5. Diduga sel kanker mempunyai reseptor tulang.

Migrasi sel tumor dari aliran darah ke tulang akan berlangsung dalam beberapa tahap :

1. Perlekatan sel tumor pada membran basalis,
2. Produksi enzim proteolitik, termasuk metaloproteinase matriks, oleh sel tumor yang akan merusak membran basalis,
3. Migrasi sel tumor melewati membran basalis,
4. Produksi berbagai mediator yang akan meningkatkan kerja osteoklas.


HIPERKALSEMIA DAN HIPERKALSIURIA PADA IMOBILISASI
Hiperkalsiuria adalah adanya peningkatan ekskresi kalsium urin 24 jam > 300 mg pada laki-laki dan > 250 mg pada wanita.
Hiperkalsemia pada imobiulisasi (Hypercalcemia of Immobilization =HCI) pertama kali diperkenalkan oleh Albright pada tahun 1941. sindrom ini meliputi peningkatan kadar kalsium serum, hiperkalsiuria, peningkatan ekskresi hidroksi prolin urin, osteopeni, nefrolitiasis dan gagal ginjal. Paling sering terjadi pada trauma tulang punggung, polimielitis, strok atau pada pasien yang mengalami imobilisasi karena dipasang traksi dan lain-lain.
Dari suatu studi yang dilakukan Sato, diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat antara insidensi fraktur pangkal paha (hip fractur) dengan pasca strok. Terutama pada wanita usia lanjut yang mengalami jatuh. Insidensi fraktur pangkal paha ini sekitar 4-15% dan 79% terjadi pada sisi yang mengalami kelumpuhan (hemiplegia). Penurunan massa tulang rata-rata terjadi 11,3 minggu pasca stroke. Pada 484 minggu pasca strok, sisi hemiplegi akan kehilangan massa tulang 21% sedangkan sisi normal 4,5%. Hasil pemeriksaan densitometri massa tulang memperlihatkan bahwa densitas massa tulang sisi yang tidak mengalami kelumpuhan pada pasien paca stroke menaglami penurunan dibanding orang normal. Pada leher femur terdapat perbedaan densitas massa tulang sisi hemiplegi dengan non hemiplegi yaitu 6,3% pada wanita pasca stroke mempunyai korelasi dengan luasnya lesi pada otak (hemisfer korteks serebri). Kadar 25(OH)D pada pasien pasca stroke juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan masukan yang kurang dan pasien tidak terpapar dengan sinar ultraviolet (pada perawatan di rumah, 75% pasien tidak terpapar dengan matahari sedangkan yang dirawat di rumah sakit 100%).
Kadar 25(OH)D merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk menentukan indeks kandungan vitamin D aktif. Kadar normal 25(OH)D didalam serum > 20ng. Defisiensi 25(OH)D bila kadarnya < 10ng dan insufisiensi bila 10-20ng. Pada pasien pasca stroke dengan hemiplegi dalam studi ini ditemukan :
1. 64% pasien rawat jalan dan 82% pasien rawat inap mengalami defisiensi 25(OH)D [17% pasien rawat jalan dan 47% pasien rawat inap, kadar 25(OH)D]
2. 31% pasien rawat jalan dan 16% rawat inap mengalami insufisiensi 25(OH)D
Di Amerika, Inggris dan Jepang, pasien usia lanjut dengan penyakit kronik yang jarang keluar rumah ternyata mengalami defisiensi vitamin D.
Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan kadar hormon paratiroid karena kompensasi terjadinya defisiensi 25(OH)D.
Sorva dan kawan-kawan melakukan penelitian pada pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi. Studi tersebut mendapatkan bahwa peningkatan resorpsi tulang tidak disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder tetapi terjadi peningkatan resorpsi primer. Pemberian vitamin D tidak memperlihatkan efek yang diharapkan. Mobilisasi segera ternyata dapat mengurangi efek dari imobilisasi ini.

Patogenesis hperkalsiuria pada imobilisasi
Mekanisme pasti hiperkalsemia dan hiperkalsiuria pada imobilisasi masih belum jelas. Tetapi peningkatan proses resorpsi massa tulang melalui aktivasi osteoklas atau penurunan proses formasi massa tulang. Secara histologi pada biopsi tulang panggul ditemukan peningkatan jumlah osteoklas dan mencapai puncaknya 16 minggu setelah imobilisasi. Hal ini juga bersamaan dengan peningkatan sekresi hidroksiprolin urin. Formasi tulang menurun dengan bukti pengurangan osteosit dan mineralisasi tulang.
Imobilisasi menginduksi hiperkalsemia seperti high bone turn over pada anak dan orang tua. Hal ini dapat diketahui dengan mnegukur ion kalsium dan kalsium nonionik. Peningkatan kalsium serum ini mempunyai korelasi yang erat dengan indeks Barthel. Secara meyakinkan ditemukan peningkatan konsentrasi pyrinoline crosslinked carboxyterminal telopeptide (ICTP). ICTP adalah suatu kolagen tipe I dan merupakan petanda aktivasi resorpsi tulang oleh osteoklas. Adanya hiperkalsemia ini akan menghambat sekresi hormon paratiroid. Jadi akan ditemukan kadar hormon paratiroid rendah atau normal. Kadar 1.25D dan 25D akan mengalami defisiensi atau insifisiensi karena intake yang buruk, kurang mendapat inar matahari atau karena keduanya.
Aktivitas dan imobilisasi mempunyai pengaruh pada tulang. Menurut hukum Wolfe’s formasi dan resorpsi tulang dipengaruhi secara langsung oleh stres lokal pada tulang. Stres (tekanan) terutama pada tulang penyangga tubuh dan regangan kontraksi otot. Terdapat 4 model yang sering dipakai untuk melihat pengaruh imobilisasi pada tulang yaitu istirahat total, lingkungan bebas gaya gravitasi (ruang angkasa), paralisis, imobilisasi sebagian seperti pada traksi. Semua keadaan initerbukti meningkatkan kehilangan massa tulang. Pada percobaan binatang, kehilangan massa tulang mulai terjadi sekitar 30 jam setelah imobilisasi. Penurunan massa tulang ini bervariasi yaitu mulai hari ketiga sampai hari ke 10 setelah imobilisasi. Tulang penyangga tubuh paling sering mengalami kehilangan massa tulang. Dalam beberapa minggu akan terjadi kehilangan kalsium total tubuh 4%. Pada minggu 30 – 36 imobilisasi, vertebra akan kehilangan massa tulang sekitar 1% dan kalkaneus sekitar 25 – 45%. Kecepatan kehilangan massa tulang paling tinggi terjadi pada minggu ke 16 imobilisasi. Massa tulang akan kembali normal melalui mobilisasi secara cepat dan adekuat tetapi struktur tulang yang ada tidak sebaik sebelum masa imobilisasi.
Respon tulang terhadap adanya tekanan / stres secara in vivo dibedakan atas tipe mekanik, yaitu :
• Tekanan kompresi akan meningkatkan massa tulang dan regangan akan meningkatkan resorpsi tulang. Jadi osteosit dan osteoblas mempunyai kemampuan untuk memberikan sinyal dalam formasi dan resorbsi tulang.
• Disamping itu terdapat perubahan growth factor (IGF,TGF, BMPs, FGF, PDGF) yang tersimpan dalam tulang.

Potensial elektrik endogen akan menurun karena beban mekanik yang berkurang selama mobilisasi. Hal ini akan mengurangi growth factor. Kekurangan growth factor ini akan mempengaruhi aktivitas osteoblas. Osteoblas akan melepaskan IL-1 dan TNF sehingga memacu aktivasi osteoklas. Damien dan kawan-kawan melakukan studi terhadap tikus yang dilakukan imobilisasi pada kedua tungkai depan. Dari hasil pemeriksaan histomorfometri didapatkan korelasi peningkatan IL-1 dan TNF oleh osteoblas dengan reseptor estrogen. Diduga imobilisasi memberikan efek yang sama dengan defisiensi estrogen. Diduga sinyal elektrik endogen ini memiliki cara kerja seperti estrogen dan memacu aktivitas-aktivitas formasi tulang. Kehilangan beban mekanik ini menyebabkan elektrik endogen akan menurun. Osteoblas melepaskan mediator inflamasi memberikan sinyal ke osteoklas untuk memacu resorpsi tulang.
Peningkatan resorpsi emnyebabkan hiperkalsemia. Hiperkalsemia akan menimbulkan efek umpan balik terhadap hormon paratiroid sehingga kadar hormon paratiroid berkurang. Kadar hormon paratiroid yang rendah mengakibatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal menurun sehingga terjadi hiperkalsiuria. Disamping itu hormon kalsitonin akan meningkat untuk menghambat resorpsi tulang yang berlebihan oleh osteoklas. Kalsitonin sendiri diperkirakan mempunyai efek menghambat timbulnya reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Hal ini semuanya akan menimbulkan suatu keseimbangan negatif dari nitrogen dengan manifestasi peningkatan ekskresi kalsium urin dan feses.
Osteoporosis dapat terjadi setelah imobilisasi yang lama seperti strok atau koma. Pada strok lebih banyak mengenai bagian tubuh yang lumpuh. Pada eksperimen binatang, tungkai yang di imobilisasi dengan cara menggunakan gips akan menimbulkan osteoporosis lokal. Sebaliknya, aktivitas lokal akan menambah massa tulang seperti hipertrofi metatarsal pada penari balet atau peningkatan massa tulang tangan yang dominan pada petenis. Dengan latihan yang teratur ternyata meningkatkan massa tulang.
Dari kedua hal ini terlihat bahwa stres (tekanan) yang diteima oleh tulang-tulang penyangga tubuh mempunyai peranan dalam resorpsi maupun formasi tulang. Lebih lanjut, hilangnya massa tulang karena imobilisasi dapat dikembalikan melalui remobilisasi dengan latihan yang progresif.
Hiperkalsemia jarang terjadi dan biasanya normal kecuali pada imobilisasi berat seperti paraplegi. Hal akan menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal sehingga menimbulkan hiperkalsiuria. Hiperkaliuria pada imobilisasi merupakan faktor predisposisi pembentukan batu ginjal.
Gallacher SJ dkk yang mendapatkan hiperkalsemia pada pasien yang mengalami imobilisasi dengan sepsis mengajukan postulat bahwa sitokin seperti IL-1 dan TNF memberikan kontribusi pada hiperkalsemia pada imobilisasi ini. Interleukin 1 dan TNF merupakan sitokin yang menstimulasi resorpsi tulang.
David dan kawan-kawan mendapatkan 92% pasien usia lanjut dengan ventilator di ruang perawatan intensif mengalami peningkatan kada N telopeptida urin. Sebanyak 42% kasus tersebut disertai oleh peningkatan hormon paratiroid dengan defisiensi vitamin D, 9% mengalami penurunan kadar hormon paratiroid yang berhubungan dengan imobilisasi serta 49% didapatkan hormon paratiroid normal dan berhubungan defisiensi vitamin D dan imobilisasi.
Kecepatan resorpsi akan menurun secara bertahap sampai tercapainya suatu keseimbangan setelah 1-2 tahun. Pada saat ini biasanya terdapat kehilangan trabekular tulang > 40%. Kehilangan massa tulang sangat cepat pada tulang penyangga tubuh serta trabekular tulang. Secara radiologi akan terlihat pada bulan ke 2 atau 3. lebih cepat pada usia muda atau imobilisasi yang menyeluruh. Bila dilakukan mobilisasi akan memperbaiki massa tulang walaupun proses ini berjalan lambat dan inkomplit.
Pertumbuhan dan remodeling tulang bergantung pada faktor pertumbuhan lokal dan sistemik, tersedianya material serta beban mekanis pada tulang. Densitas dan kekuatan pada tulang berhubungan dengan tekanan/stres lokal yang dikontrol melalui faktor pertumbuhan lokal.

HIPOKALSEMIA
Hipokalsemia adalah penurunan kadar kalsium serum yang dapat terjadi pada beberapa keadaan, seperti hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan metabolisme vitamin D, hipomagnesemia dan gagal ginjal akut atau kronik. Dengan melihat kadar hormon PTH, hipokalsemia dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian, yaitu hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah (hipoparatiroidisme) dan hipokalsemia dengan kadar PTH yang miningkat (hiperparatiroidisme sekunder).
Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang dapat kesemutan pada ujung-ujung jari dan sekitar mulut. Dalam keadaan lanjut akan didapatkan tanda Chvostek dan Trousseau. Tanda Chvostek adalah twitching pada daerah sekitar mulut bila dilakukan ketokan pada nervus fasialis di anterior telinga. Tanda Trousseau adalah spasme karpal yang terjadi bila dilakukan bendungan lengan dengan menggunakan manset tensimeter pada tekanan 20 mmHg diatas tekanan sistolik selama 3 menit. Spasme karpal yang klasik akan berupa fleksi pergelangan tangan, ekstensi interfalang dan aduksi jari-jari.
Gejala hipokalsemia yang lain adalah kejang otot yang mengenai pinggang, tungkai dan kaki. Pada keadaan yang berat dapat timbul spasme karpopedal spontan (tetani), laringospasme atau bronkospasme, sampai kejang-kejang umum.
Hipokalsemia berat dapat memperpanjang interval QT pada EKG yang reversibel setelah hipokalsemia dikoreksi.

Penatalaksanaan hipokalsemia akut
Penatalaksaan hipokalsemia akut ditenmtukan oleh derajat dan kecepatan timbulnya hipokalsemia. Hipokalsemia ringan (Ca serum 7,5-8,5 mg/dl) yang asimtomatik, cukup diterapi dengan kalsium oral 500-1000 mg tiap 6 jam disertai pengawasan yang ketat. Bila terdapat tetani atau kadar kalsium serum < 7,5 mg/dl, diperlukan pemberian kalsium intravena. Pemberian kalsium glukonat (90 mg kalsium elemental/10ml ampul) lebih disukai daripada kalsium sitrat (272 mg kalsium elemental/10 ml ampul) karena tidak iritatif. Mula-mula, dapat diberikan 1-2 ampul kalsium glukonat dalam 50-100 ml dekstrosa 5% dan diberikan per-infus 5-10 menit. Dosis ini dapat diulang bila masih didapatkan gejala hipokalsemia. Hipokalsemia yang berat dan persisten dapat diberikan kalsium per-drip dalam jangka waktu yang lebih lama, misalnya 15 mg/kgBB kalsium elemental diinfus selama 4-6 jam. Secara praktis dapat dilakukan dengan melarutkan 10 ampul kalsium glukonat dalam 1 liter dekstrosa 5% dan diinfus dengan kecepatan 50 ml/jam (45 mg kalsium elemental/jam). Larutan yang lebih pekat dari 200 mg kalsium elemental/100 ml dekstrosa 5% harus dihindari karena akan bersifat iritatif terhadap vena maupun jaringan disekitarnya bila terjadi ekstravasasi.Pada hiperkalsemia berat dan persisten, juga harus dipikirkan kemungkinan pemberian kombinasi kalsium oral 1-2 gram/hari dan 1,25(OH)2D 0,5-1,0gr/hari. Pada keadaan hipomagnesemia, maka terapi terhadap hipomagnesemia juga harus dilakukan selain terapi terhadap hipokalsemianya.

HIPOPARATIROIDISME
Hipoparatiroidisme adalah produkjsi hormon PTH yang tidak mencukupi untuk mempertahankan kadar kalsium ekstraseluler dalam batas normal. Secara umum, penyebab hipoparatiroidisme dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu :
i. Kelenjar paratiroid yang tidak berkembang,
ii. Destruksi kelenjar paratiroid,
iii. Penurunan fungsi kelenjar parartiroid,
iv. Aksi PTH yang terganggu.

Secara klinis, hipoparatiroidisme akan menunjukkan gejala-gejala hipokalsemia pada berbagai tingkatan tergantung pada derajat hipoparatiroidismenya dan hipokalsemianya.
Secara biokimia, akan tampak gambaran hipokalsemia, hiperfosfatemia, PTH yang rendah atau tidak terdeteksi, dan kadar 1,25(OH)2D yang rendah. Untuk membedakan dengan PTH yang resisten, dapat dilakukan tes Ellsworth-Howard, yaitu dengan pemberian PTH bioaktif dan akan tampak peningkatan ekskresi cAMP urin dan fosfat urin.
Pada gambaran radiologik dan CT-scan kepala, akan tampak kalsifikasi basal ganglia.
Penatalaksanaan hipoparatiroidisme bertujuan untuk memperbaiki kadar kalsium dan fosfat serum senormal mungkin. Dalam hal ini dapat diberikan preparat kalsium dan vitamin D. Pada umumnya kebutuhan kalsium elemental adalah 1 g/hari. Dengan membaiknya kadar kalsium plasma, maka hiperkalsiuria akan bertambah karena efek PTH di ginjal tidak ada. Bila hiperkalsiuria tetap terjadi dan kadar kalsium plasma tidak dapat mencapai kadar 8 mg/dl, maka dapat ditambahkan diuretik tiazid. Bila kadar kalsium serum sudah normal, sedangkan kadar fosfat serum tetap diatas 6 mg/dl, maka perlu diberikan antasid yang tidak diabsorpsi untuk mengurangi hiperfosfatemia dan mencegah kalsifikasi metastatik.

PSEUDOHIPOPARATIROIDISME
Pseudohipoparatiroidisme (PHP) adalah keadaan klinik yang secara biokimia ditandai oleh gambaran hipoparatiroidisme, yaiutu hipokalsemia dan hiperfosfatemia, tetapi sekresi PTH meningkat dan jaringan target tidak berespons terhadap aktifitas biologik PTH. Seringkali PHP disertai dengan kelainan perkembangan yang disebut Albright’s hereditary osteodystrophy (AHO) yang terdiri dari tubuh pendek, muka bundar, obesitas, brakidaktili dan osifikasi subkutan. Untuk membedakan dengan hipoparatiroidisme, dapat dilakukan tes Ellsworth-Howard (lihat diatas).

HIPOMAGNESEMIA
Hipomagnesemia ternyata ditemukan lebih banyak dari dugaan sebelumnya. Umumnya hipomagnesemia terjadi akibat pembuangan yang berlebihan baik lewat saluran cerna maupun ginjal. Pembuangan Mg lewat saluran cerna, biasanya disebabkan oleh vomitus, diare, sindrom malabsorpsi dan reseksi usus. Sedangkan ekskresi Mg lewat urin tergantung dari reabsorpsi di tubuluh yang bersifat proporsional dengan Natrium dan Kalsium. Pembuangan Mg yang berlebihan lewat urin akan dipengaruhi oleh terapi cairan terutama NaCl 0,9%, kelebihan cairan dalam tubuh dan hiperaldosteronisme primer. Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria juga akan menghambat reabsorpsi Mg di ginjal sehingga akan meningkatkan ekskrresi Mg dan hipomagnesemia. Penyebab lain ekskresi Mg yang berlebihan adalah diuresis osmotik, misalnya akibat steroid dan juga diabetes melitus.
Secara klinis, hipomagnesemia ditandai oleh hipereksitabilitas neuromuskuler, termasuk tetani dan dapat ditandai oleh tanda Chvostek dan Trousseau. Pada EKG akan didapatkan perpanjangan interval PR dan QT dan Aritmia.
Secara laboratoris, akan didapatkan hipokalemia karena hipomagnesemia akan menyebabkan kehilangan K intrasel dan gangguan konservasi K oleh ginjal. Hipokalsemia juga merupakan gejala utama hipomagnesemia. Dalam keadaan normal perubahan kadar Mg yang akut akan mempengaruhi sekresi PTH sama dengan perubahan kadar kalsium. Penurunan kadar Mg yang akut akan merangsang sekresi PTH, sebaliknya hipermagnesemia akan menghambat sekresi PTH. Walaupun demikian, hipomagnesemia kronik akan mengganggu sekresi PTH dan hal inilah nampaknya yang menjadi penyebab hipokalsemia pada hipomagnesemia. Selain itu, hipokalsemia akibat hipomagnesemia juga menunjukkan resistensi pada ginjal dan tulang terhadap pemberian PTH eksogen, kalsium dan vitamin D. Resistensi terehadap vitamin D, kemungkinan disebabkan oleh gangguan metabolisme vitamin D karena kadar 1,25(OH)2D rendah. Resistensi ini akan menghilang setelah diberikan derapi Mg beberapa hari.
Pengobatan hipomagnesemia yang simtomatik dapat diberikan injeksi 2 g MgSO4.7H2O (16,7 mEq) 50% intra-muskuler tiap 8 jam atau drip intravena 48 mEq/24 jam, karena injeksi intramuskuler sangat nyeri. Terapi harus dilanjutkan sampai gejala klinik, hipokalemia dan hipokalsemia teratasi. Kadar Mg serum yang normal tidak menunjukkan defisit Mg total dalam tubuh sudah teratasi, karena Mg ekstraseluler hanya 1% dari total Mg tubuh, dan sebagian besar berada intraseluler. Pada penderita hipomagnesemia yang disertai kejang, harus diberikan injeksi 8-16 mEq Mg intravena dalam 5-10 menit, dilanjutkan drip Mg 48 mEq/24 jam. Pemberian Mg harus berhati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal, bila perlu dosisnya diturunkan. Pada penderita dengan kehilangan Mg yang kronik, dapat diberikan Mg elemental 300-600 mg dalam dosis terbagi untuk mencegah efek katartik Mg.


RIKETS DAN OSTEOMALASIA
Rikets adalah gangguan mineralisasi matriks tulang (osteoid) pada tulang yang sedang tumbuh yang menyerang baik epifisis maupun tulang kortikal dan trabekular yang baru. Sedangkan, osteomalasia adalah gangguan mineralisasi osteoid setelah pertumbuhan tulang berhenti, tetapi hanya terjadi pada tulang, tidak pada epifisis. Gangguan mineralisasi, baik pada rikets maupun osteomalasia, biasanya terjadi akibat gangguan deposisi kalsium dan fosfat pada matriks tulang.
Penyebab osteomalasia antara lain :
- Defisiensi kalsium,
- Defisiensi vitamin D
- Menurunnya absorpsi vitamin D pada penyakit gastrointestinal dan hepatobilier,
- Peningkatan katabolisme vitamin D akibat obat-obatan yang meningkatkan kerja enzim-enzim oksidase hati, misalnya anti konvulsan dan rifampisin,
- Gangguan tubulus ginjal yang disertai ekskresi fosfat, seperti sindrom Fanconi, RTA dsb,
- Penggunaan antasida yang mengandung almunium yang kronik, sehingga terjadi deplesi fosfat,

Defisiensi kalsium berhubungan dengan asupan yang kurang, gangguan absorpsi di saluran cerna dan nutrisi parenteral total yang tidak mengandung kalsium secara cukup. Gangguan absorpsi kalsium dapat terjadi akibat diet tinggi serat atau banyaknya kompleks kalsium fitat di dalam usus.
Untuk pengobatan, harus diberikan kalsium oral 1-2 g/hari. Pada bayi yang masih menyusui dapat diberikan kalsium oral 30 mg/kgBB/hari.
Secara klinik, osteomalasia ditandai oleh nyeri tulang yang bersifat umum dan secara radiologik akan tampak gambaran demineralisasi generalisata ringan atau patah tulang iga multipel dengan permbentukan kalus yang buruk (psedofraktur).
Pada anak-anak yang menderita rikets, akan didapatkan kelemahan otot, tetani, kaki yang bengkok (bowing legs), sendi kostokondral yang prominen yang disebut rachitic rosary. Pada kepala akan didapatkan kalvarium yang melunak yang disebut kraniotabes, dan keterlambatan pertumbuhan gigi yang permanen.
Pada daerah tropik, sinar ultraviolet mudah didapatkan, sehingga pembentukan vitamin D dibawah kulit dari prekursor kolesterol mencukupi. Kemudian hati akan melakukan hidroksilasi pada posisi 25 dan ginjal pada posisi 1, sehingga terbentuk 1,25 dihidroksivitamin D (kalsitriol) yang merupakan metabolit vitamin D yang aktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar